BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Hadis yang diyakini sebagai ucapan, perbuatan, ketetapan (taqrir)[1]dan hal ihwal
Nabi Muhammad SAW merupakan sumber ajaran kedua setelah al‑Qur'an. Ditinjau dari
segi periwayatannya, hadis Nabi berbeda dengan al-Qur'an. Semua periwayatan
ayat‑ayat al‑Qur'an berlangsung
secara mutawatir,[2]sedangkan hadis
Nabi diriwayatkan sebagiannya secara mutawatir dan sebagian lainnya
diriwayatkan secara ahad [3]. Oleh
karenanya, al‑Qur'an memiliki kedudukan qat'iy al‑wurud [4] sedangkan
hadis Nabi sebagiannya berkedudukan qat'iy al‑wuruddan sebagian
lainnya bahkan yang terbanyak berkedudukan zanniy al-wurud.
Berdasarkan asumsi di atas, maka dilihat dari segi
periwayatannya seluruh al‑Qur'an tidak perlu dilakukan
penelitian kembali tentang orisinalitasnya, sedangkan terhadap hadis Nabi SAW
khususnya yang termasuk kategori ahad, maka diperlukan
penelitian akan orisinalitasnya.[5]Bertolak dari
permasalahan tersebut, maka hadis Nabi SAW sebelum dipahami dan diamalkan,
perlu diidentifikasi terlebih dahulu serta diteliti orisinalitasnya dalam
rangka kehati‑hatian dalam mengambil hujjah atasnya. Setelah dilakukan
pengujian, baru kemudian suatu hadis yang diduga kuat berkualitas sahih ditelaah
dan dipahami untuk selanjutnya dapat diamalkan, sebab ada di antara hadis‑hadis
yang sahih tersebut yang dapat segera diamalkan (ma'mul bih) dengan
memahami redaksinya, namun adapula yang tidak segera dapat diamalkan (gair
ma'mul bih), karenanya menuntut pemahaman yang mendalam dengan
memperhatikan latar belakang munculnya hadis (asbab wurud al‑hadis) serta
piranti lainnya. Proses inilah yang dikenal kemudian dengan proses pemahaman
hadis atau disebut dengan fiqh al‑hadis.
Sebagaimana umat Islam mengakui bahwa apa yang bersumber
dari Nabi Muhammad SAW yang kemudian dihimpun dalam hadis‑hadis Nabawi merupakan
bagian tak terpisahkan dari al‑Qur'an itu sendiri, hal ini disadari karena
salah satu fungsi Nabi Saw adalah menjelaskan al‑Qur'an baik lisani maupun
fi'li agar maksud al‑Qur'an dapat dengan segera dipahami dan diamalkan
ummatnya. Namun manusia menyadari bahwa persoalan tidak pernah selesai,
bahkan terus berkembang
sementara sang penjelas (Nabi
SAW) telah
wafat, oleh karena itu persoalan ini menjadi tantangan bagi
ummatnya untuk diselesaikan melalui teknik atau cara‑cara yang dilakukan oleh
Nabi SAW agar nilai Islam yang tertuang dalam al-Qur'an tetap relevan hingga
akhir zaman, sebagaimana prinsip agama ini yang dikenal dengan sa1ih
1ikulli zaman wa makan.
Bila ajaran Islam yang sesuai dengan tuntutan zaman dan
tempat ini dihubungkan dengan berbagai kemungkinan persamaan dan perbedaan
masyarakat, berarti di dalam ajaran Islam ada ajaran‑ajaran yang berlakunya
tidak terikat oleh waktu dan tempat, disamping ada ajaran-ajaran yang terikat
oleh waktu dan tempat tertentu, sehingga di dalam ajaran Islam ada muatan
universal, ada pula yang temporal maupun yang lokal.[6]
Menurut petunjuk al-Qur'an Nabi Muhammad SAW diutus oleh
Allah untuk semua umat manusia,[7]dan sebagai
rahmat bagi seluruh alam[8] (rahmatan
li al‑'alamin), artinya kehadiran Nabi Muhammad SAW membawa misi kebajikan
dan kerahmatan bagi semua umat manusia dalam segala ruang dan waktu. Di sisi
lain, hidup Nabi Muhammad SAW dibatasi oleh ruang dan waktu, dengan demikian
apa yang direkam dari kehidupan Nabi Muhammad SAW dalam hadis‑hadis Nabawi
memiliki muatan ajaran yang bersifat universal, sekaligus ada muatan temporal
dan lokal.[9]
Sebagaimana telah diungkap sebelumnya, bahwa salah satu
fungsi Nabi SAW adalah menjelaskan al-Qur'an serta mengejawantahkan Islam
melalui ucapan, perbuatan serta perjalanan hidupnya baik dalam kesendiriannya
maupun di tengah masyarakat, saat mukim ataupun saat bepergian, saat terjaga
maupun pada saat tidur, dalam kehidupan khusus maupun umum, dalam hubungannya
kepada Allah ataupun dengan sesama makhluk, dengan orang‑orang terdekat maupun
orang‑orang jauh, dengan mereka yang mencintai maupun yang memusuhi, pada masa
damai maupun masa perang. saat sehat wal afiat maupun saat menerima musibah.[10]
Hal‑hal di atas itulah yang menuntut umat Islam mempelajari
serta memahami sunnah Nabi SAW dengan sebaik-baiknya, sebagaimana yang telah
dicontohkan para sahabat dan generasi tabiin yang secara sungguh‑sungguh
berusaha menggali dan mempelajari aktualitas Nabi SAW untuk kemudian mereka
amalkan dalam kehidupan sehari‑hari, sehingga dikenallah generasi ini sebagai
generasi sebaik-baik ummat karena mereka mengikuti jejak Nabi SAW demikian
pula bagi mereka yang senantiasa mengikuti jalan yang benar tersebut.[11]
Tidak sedikit hadis Nabi yang telah dibukukan oleh para
ulama, dan di dalamnya memuat berbagai persoalan yang tak habis‑habisnya untuk
diperbincangkan, salah satunya adalah hadis yang memuat tentang larangan Nabi
SAW terhadap ummatnya untuk menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y, sementara pada
masa sekarang banyak dijumpai dari sebagian umat Islam yang sengaja berlaku nifaq (munafik)
guna mencari kedudukan, pangkat, atau apa saja yang dengan tafsirannya itu
mampu melegitimasi pendapatnya demi tujuan pribadi ataupun kelompok, dan hal
inilah yang paling dikhawatirkan Nabi SAW.[12] Di
sisi lain tafsir-tafsir al‑Qur'an yang berkembang sampai saat ini, ada di
antaranya tafsir yang dikenal dengan sebutan tafsir bi al–ra'y,
disamping tafsir bi al- riwayat, lalu bagaimanakah kita mensikapi
tafsir bi al-ra'y tersebut.
Guna memecahkan persoalan‑persoalan tersebut, perlu kiranya
mempelajari akar polemik di sekitar boleh dan tidaknya menafsirkan al-Qur'an
dengan ra'y yaitu dengan mempelajari lebih jauh dan mendalam tentang hadis
"larangan menafsirkan al-Qur'an dengan ra'y", dengan
harapan tersingkapnya maksud Nabi SAW tersebut sekaligus bentuk‑bentuk real
pelarangannya. Salah satu hadis tersebut adalah hadis riwayat al‑Turmudzi:
حَدَّثَنَا
مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا
سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى
عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي
اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْقَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ
أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ
حَسَنٌ صَحِيحٌ
Artinya: (Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah
menceritakan kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariyy menceritakan
kepada kami, (Bisyr berkata) : Sufyan menceritakan kepada kami dari 'Abd al‑A‑'la
dari Sa'id bin Jubair dari Ibn 'Abbas Ra, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur'an dengan tanpa landasan
pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka"
Abu 'Isa (al-Turmuzi) berkata: hadis ini hasan sahih.[13]
Hadis di atas dipegangi oleh sebagian ulama sebagai dasar
penolakan atas tafsir bi al-ra'y, namun sebagian yang lain memahami
hadis tersebut sebagai larangan menafsirkan dengan hawa nafsu dan
bukan penafsiran melalui kemampuan ijtihad yang melahirkan tafsir bi al-ra'y yang
dikenal saat ini
Tentang tafsir bi al-ra'y, ulama juga
berselisih pendapat hingga mengkristal pada dua model tafsir bi al-ra’y,
yaitu tafsir bi al-ra'yyang mahmud (terpuji)
dan tafsir bi al-ra'y yang mazmum(tercela).[14]Terlepas
dariklasifikasitersebut, kata al-ra'y itulah yang
menjadikata kunci dari perdebatan di atas.
Kata al‑ra'y sendiri dimaknai berbeda‑beda
oleh para ulama, sebagian memaknai al-ra'y dalam konteks hadis
di atas sebagai. "ijtihad", ada pula yang memaknainya sebagai
"penafsiran tanpa menggunakan il‑mu", artinya tidak didasarkan pada
dalil‑dalil syara', sebagian yang lain memaknainya sebagai "hawa
nafsu". Mereka yang memaknai al‑ra'y dengan hawa nafsu inilah yang
memfatwakan bahwa barang siapa berbicara mengenai al‑Qur'an menurut hawa
nafsunya dan tidak memberikan perhatian kepada keterangan yang telah
disampaikan kaum salaf, maka sekalipun pendapatnya itu benar, ia tetap dianggap
sebagai perbuatan yang keliru, hal tersebut disebabkan karena telah menentukan
makna ayat al‑Qur'an tanpa memperhatikan kaedah‑kaedah yang ditentukan oleh
ahli hadis.[15]
Bertolak dari permasalahan di atas, maka sangat urgen untuk
melakukan pendalaman atas hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y,
mengingat banyaknya tafsir al‑qur'an yang berkembang hingga saat ini
dikelompokkan pada kategori tafsir bi al-ra'y, apakah kemudian
penafsiran‑penafsiran tersebut jatuh pada kelompok yang diancam Nabi atau
tidak.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka pokok
masalah dalampenelitlan skripi ini dapatdirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimanakah makna
dari hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y?
2. Bagaimanakah kedudukan
tafsir bi al-ra'ydalam al-Qur’an?
3. Kapankah hadis-hadis
itu melarang menafsirkan al-Qur’an dengan ra’y?
C. Tujuan dan Kegunaan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas,
penulisan skripsi ini bertujuan untuk:
- Untuk mengetahui makna hadis‑hadis larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y
- Untuk mengetahui kedudukan tafsir bi al-ra'y dalam sumber al-Qur’an
- Untuk mengetahui batasan larangan hadis tersebut.
Adapun kegunaan dari penulisan skripsi ini adalah:
- Menambah wawasan serta memperkaya hazanah intelektual, khususnya bagi penulis dan pembaca pada umumnya
- Menambah kepustakaan bagi Institut, Fakultas dan Jurusan pada khususnya.
- Untuk melengkapi sebagian dari syarat‑syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu dalam bidang ilmu Tafsir dan Hadis pada Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Ka1ijaga.
D. Telaah Pustaka
Sesuai dengan permasalahan yang telah dirumuskan di atas,
penulis menemukan beberapa literatur yang berhubungan dengan masalah yang
dibahas, antara lain:
DaIam kitab Tuhfah al‑Ahwazi Syarh Jami' al-Turmuzi,
pengarang kitab ini menjelaskan cukup panjang tentang menafsirkan al-Qur'an
dengan al‑ra'y,[16]hanya
saja pembahasan di dalamnya terfokus pada perdebatan hadis tersebut ansich, sedangkan
aspek yang terkait dengan tafsir bi al-ra'y sebagai sisi lain
dari tafsir bi al‑riwayah masih ada peluang untuk
diperbincangkan lagi.
Dalam kitab 'Aun al‑Ma'bud Syarh Sunan
Abi Dawud, Juga secara ringkas telah menjelaskan tentang larangan
menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra'y yaitu dalam babilmu.[17]
Kemudian buku karya Fahd bin 'Abd al‑Rahman al‑Rumi yang
berjudul Dirasah fi 'Ulum al‑Qur'an, di dalamnya menjelaskan
persoalan yang ada dalam lingkup ilmu‑ilmu al‑Qur'an termasuk di dalamnya
sekilas tentang manafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y yang
disimpulkan oleh penulis kitab ini sebagai kelompok tafsir al-Qur'an bi al-ra'y yang mazum.[18]
Dalam kitab Ittihaf al‑Sadah al‑Muttaqin
Syarh Ihya 'Ulum al‑Din yang sebenarnya kitab ini lebih
fokus pada hal‑hal yang terkait dengan 'Ubudiyah, namun di dalamnya juga
diuraikan cukup panjang tentang tafsir al-Qur'an bi al-ra'y juga
tentang aktifitas menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y.[19]
Kemudian dalam kitab al‑Tafsir wa al-Mufassirun,
al‑Zahabi menguraikan tentang apa itu tafsir, ahli tafsir karya‑karya tafsir
dan lainnya, termasuk di dalamnya tentang tafsir bi al-ra'y yang
diperbolehkan maupun tafsir bi al-ra'y yang tidak
diperbolehkan.[20]
Ahmad al‑Syirbasi dalam bukunya yang telah diIndonesiakan
dengan judul Sejarah Tafsir al-Qur'an, juga menguraikan tentang
kekhawatirannya atas penafsiran al‑Qur' an dikarenakan adanya nash hadis
tentang larangan menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra’y, namun pada
sisi lain ia juga menjelaskan tentang tafsir bi al‑'aqldan tafsir
bi al‑naql.[21]
Dalam kitab yang lain yaitu usul al‑Tafsir wa
Qawa'iduhu, Syaikh Khalid bin 'Abd al‑Rahman al-Fakki
menjelaskan dengan panjang lebar mengenai pertumbuhan tafsir, kaedah‑kaedah
penafsiran sampai pada tafsir bi al-ra'y juga tentang
menafsirkan al‑Qur'an dengan al‑ra'y.[22]
Dari beberapa penelusuran pustaka tersebut di atas, penulis
masih memiliki peluang untuk mengkaji secara khusus dan mendalam terhadap hadis
larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'y serta
korelasinya dengan fenomena tafsir bi al-ra'y yang berkembang
hingga saat ini. Oleh karena itu perlu kiranya menguji kembali pemahaman dari
larangan asasi pada hadis tersebut.
E. Metode Penelitian
Dalam rangka menemukan jawaban atas persoalan-persoalan di
atas, penulis hendak mengungkap dengan langkah‑langkah metodologis sebagai
berikut;
1. Penelitian skripsi
ini merupakan penelitiankepustakaan, karena data‑data penelitian ini hampir
keseluruhannya adalah data‑data kepustakaan
2. Karena fokus
penelitian ini ada pada hadis Nabi sebagai kunci persoalan, maka sumber primer
penelitian ini adalah kitab‑kitab hadis Nabi, dan karena banyaknya kitab hadis
maka penulis mengambil sample hadis secara purposed yaitu
kitab‑kitab hadis yang dianggap lebih kuat kehujjahannya, sehingga proses uji
orisinalitasnya tidak perlu detail.
3. Adapun sumber‑sumber
sekunder yang dapat digunakan dalam memahami hadis secara tekstual maupun
kontekstual, maka digunakanlah kitab‑kitab syarh hadis juga kitab‑kitab yang
terkait dengan perdebatan tafsir al‑Qur'an bi al-ra'y.
4. Pengumpulan data
dilakukan melalui dokumentasi, yaitu metode pengumpulan data yang bersifat
dokumenter.[23]Dalam
hal ini penghimpunan data dilakukan dari perpustakaan atau tempat yang
menyimpan dokumen, setelah terkumpul, diklasifikasikan lalu dianalisis.
5. Analisis data
dilakukan melalui metode deduktif yaitu melalui penghimpunan datayang masih
umumdinterpretasikan guna mendapatkankesimpulan yangbersifatkhusus.[24]Dalam
menganalisa data tersebut penulis dibantu oleh metode pemahaman hadis Syuhudi
Ismail yang di dalamnya menekankan pada pemilihan makna yang tepat, artinya,
mungkin saja sebuah hadis dalam kondisi tertentu lebih tepat dipahami secara
tersurat (tekstual), sedang hadis tertentu lainnya lebih tepat dipahami secara
tersirat (kontekstual).
6. Penerapan pemahaman
hadis secara tekstual dilakukan bila hadis tersebut dihubungkan dengan latar
belakang terjadinya tetap menuntut pemahaman sesuai dengan apa yang tertulis
dalam teks hadis tersebut, sebaliknya, pemahaman secara kontekstual dilakukan
bila teks hadis tersebut ada petunjuk yang kuat yang mengharuskannya dipahami tidak
sebagaimana yang tersurat (tekstual).[25]
F. Sistematika Pembahasan
Secara garis besar penyusunan skripsi ini dibagi ke dalam
tiga bagian yaitu pendahuluan, isi dan penutup. Ketiga bagian tersebut saling
terkait atau satu bagian yang integralistis.
Adapun sistematika secara rinci sebagai berikut: Bab I
berisi pendahuluan yang memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan
dan kegunaan penulisan, telaah pustaka,
metodologi penelitian serta sistematikapembahasan.Bab II berisi pengantar
tentang problematika pemahaman, dan metodologi pemahaman hadis Nabi.Bab III
berisi materi hadis tentang larangan menafsirkan al-Qur'an dengan al-ra'yberikut
sekilas kualitasnya. Bab IV berisi pemahaman‑pemahaman makna dari hadis
sekaligus perdebatan di seputar otoritas tafsir bi al-ra'y dan
kecenderungan ulama di dalamnya.Bab V berisi kesimpulan saran dan penutup.
BAB II
PEMAHAMAN HADIS
A. Problematika Pemahaman Hadis
Keberadaan Hadis Nabi SAW sebagai sumber hukum Islam setelah
al‑Qur’an telah disepakati oleh sebagian besar umat Islam. Oleh karena itu
kedudukan hadis Nabi SAW sangat strategis dalam kehidupan umat Islam, ia
memiliki otoritas tertinggi setelah al‑Qur’an karena di dalamnya memuat
sejumlah sunnah Nabi SAW yang menuntut umat Islam menggunakan atau
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari‑hari.
Pada mulanya sunnah Nabi SAW diikuti secara langsung oleh
sahabat‑sahabatnya baik yang mendengar secara langsung maupun melalui sistem,
periwayatan yang pada umumnya masih berlangsung secara safahi (lisan),
Kemudian berangsur-angsur atsar Nabi SAW ini dikhawatirkan memudar bahkan
menjadikan hilangnya sunnah Nabi SAW yaitu seiring dengan mulai sedikitnya
penghafal hadis, satu demi satu sahabat mulai wafat berikut generasi tabi’in
yang memeliharanya juga semakin berkurang, terlebih berkecamuknya politik yang
mengakibatkan munculnya hadis-hadis palsu dan sebagainya. Kondisi inilah yang
dipikirkan Umar bin `Abd al‑`Aziz (w. 101) untuk melakukan kebijakan strategis
yang terkait dengan kekuasaannya yang dibarengi kecintaan akan ilmu agama,
yaitu penghimpunan hadis‑hadis Nabi SAW.
Adanya selisih waktu yang cukup panjang antara periwayatan
hadis secara lisan dengan penghimpunan serta pembukuan hadis secara resmi
memunculkan kesangsian atas otentisitas hadis sebagai suatu berita yang benar‑benar
bersumber dari Nabi SAW, lebih‑lebih di antara periwayatan dengan masa
pembukuan tersebut telah terjadi berbagai konflik serta pertikaian yang terkait
dengan ideologi, politik dan sebagainya.
Hal itulah yang menjadikan pengkajian terhadap
keotentikan suatu hadis menjadi bagian tak terpisahkan dari studi kritis
terhadap hadis Nabi SAW. Problem tersebut tidak terhenti begitu saja saat telah
dipastikan hadisnya sahih, sebab rentang waktu yang panjang
itu pula yang menyebabkan proses pemahaman terhadap suatu hadis ada kalanya
mudah dan segera dapat dipraktekkan namun sebagian yang lain dipahami kurang
tepat, sehingga status hadis yang sahih adakalanya ma’mul
bih adakalanya gair ma’mul bih. Hal inilah yang
mendorong lahirnya ilmu ma’ani al‑hadis[26] guna
menjembatani teks yang hadir padamasa Nabi SAW hidup dengan realitas kehidupan
umatnya yang terus ada sampai sekarang dan dalam ruang yang berbeda.
Realita juga menunjukkan bahwa tidak semua sanad hadis yang
berkualitas sahih, secara otomatis matannya juga berkualitas sahih. SyuhudiIsmail
mengemukakan beberapa kemungkinan sebab di antaranya:
1. Karena telah terjadi
kesalahan dalam melaksanakan penelitian matn umpamanya
karena kesalahan dalam menggunakan pendekatan ketika
meneliti matn yang bersangkutan.
2. Karena telah terjadi
kesalahan dalam melaksanakan penelitian sanad, atau
3. Karena matan hadis yang
bersangkutan telah mengalami periwayatan secara makna yang ternyata mengalami
kesalahpahaman.
Memperhatikan kemungkinan terjadinya kesalahan yang terjadi
di atas, maka penelitian ulang terhadap sanad dan matan hadis tidak hanya
bersifat komfirmatif semata, melainkan perlu dan penting.[27]
Pada aspek isi hadis, yang dipahami sahabat dari aktualitas
diri Nabi SAW, baik ucapan, perbuatan maupun hal‑hal lain yang bersumber
darinya‑ sarat akan kemampuan dan daya tangkap sahabat, ada yang berusaha
menggambarkan secara detail yaitu berikut dengan setting munculnya hadis (asbab
al-Wurud al‑Hadis), ada pula yang tidak (hanya menuturkan essensinya
saja), sehingga bagi generasi selanjutnya mengalami kesulitan bahkan kesalahan
di dalam memahami maksud hadis yang sebenarnya.
Terlebih suatu aktifitas Nabi SAW, ada kalanya disaksikan
oleh perorangan, adakalanya beberapa orang, terkadang dari beberapa orang
tersebut berlangsung secara bersamaan, ada kalanya berlangsug dalam waktu yang
berbeda dengan situasi dan kondisi yang berbeda,
dian-
taranya
ada yang menjaga periwayatan secara lafzi adakalanya cukup
memahami isi dan dibahasakan sendiri oleh sahabat. Hal ini pulalah yang
memunculkan ragam redaksi hadis yang tak jarang antara satu redaksi hadis
dengan redaksi hadis lainnya dalam satu persoalan berbeda bahkan ada yang
saling bertolak belakang (mukhtalaf).
Atas dasar hal tersebut di atas, umat Islam dituntut untuk
kritis dalam mengkaji serta memahami suatu hadis, tanpa upaya kritis tersebut
hanya akan memunculkan selisih paham yang sudah barang tentu akan menumbuhkan
perpecahan di kalangan umat Islam sendiri.
B. Metodologi Pemahaman Hadis
Sebagaimana diuraikan dalam problematika pemahaman hadis di
atas, ulama yang konsen dalam bidang kajian hadis berusaha untuk memberikan
teknik‑teknik berinteraksi dengan hadis Nabi SAW. Dalam sub bahasan ini akan
dikemukakan beberapa metode yang dilahirkan oleh beberapa tokoh
kontemporer yang nantinya dapat digunakan sebagai pisau analisis dari
penelitian skripsi ini, di antaranya adalah model metode
pemahaman yang disistematisasikan Yusuf Qardhawi dan Syuhudi Ismail.
1. Yusuf Qardhawi
Menurutnya, hadis Nabi SAW memiliki kedudukan yang penting
dalam ajaran Islam, karenanya umat harus melihatnya melalui metode yang tepat
yaitu bingkai Ajaran Islam yang menyeluruh (komprehensip), keseimbangan dan
memudahkan.[28] Karenanya
pula dalam, memahami sunnah Nabi melalui hadis‑hadisnya tersebut harus
menghindarkan diri dari upaya pemahaman atau penafsiran yang ekstrim, tanpa
dasar atau dengan pengalihan (manipulasi).[29]
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka seseorang yang hendak
memahami hadis haruslah melalui tahapan-tahapan sebagai berikut:
a. Memahami al‑Sunnah
dengan berpedoman pada al‑Qur’an.[30] Untuk
memahami al‑Sunnah dengan benar, jauh dari penyimpangan, maka, salah satu
bentuk pentakwilan terhadap hadis haruslah dilakukan dibawah naungan al‑Qur’an
serta dalam lingkup orientasi rabbani yang benar dan adil.
Sebagaimana tertuang dalam ayat al-Qur’an:
وتمت كلمة ربك صدقا وعدلا لا مبدل لكلماته وهو
السميع العليم
Pada prinsipnya al‑Sunnah dengan al‑Qur’an itu tidak pernah
bertentangan, bila hal itu terjadi kemungkinan salah di dalam memahami al‑Sunnah
itu sendiri.
b. Mengumpulkan hadis‑hadis
dalam satu topik[31]
Hendaknya hadis‑hadis tersebut dikumpulkan dalam satu topik,
sehingga seluruh model hadis dapat diperhatikan, sekiranya ada yang mutasyabih dikembalikan
pada yang muhkam, bila ada yang mutlaqdapat
dihadapkan dengan yang muqayyad, yang `am dapat
ditafsirkan oleh yang khas, sehingga satu sama
lain saling melengkapi
dan memudahkan pengkaji mengkonstruknya.
c. Memadukan atau
mentarjih antara hadis‑hadis yang kontradiktif.[32]
Prinsip umum dan yang paling asal bahwa nash‑nash syari’ah
(al‑Qur’an dengan al‑Qur’an, al‑Qur’an dengan hadis, hadis dengan hadis) tidak
mengandung kontradiksi, sebab kedua‑duanya bersumber dari syari’ (pembuat syari’at
yaitu Allah Zat Yang Maha Benar)
d. Memahami hadis dengan
mempertimbangkan latar belakangnya, situasi dan kondisinya ketika diucapkan
serta tujuannya.[33]
Hal tersebut didasarkan bahwa suatu ungkapan (lebih‑lebih
yang mengandung
muatan hukum)
sangat dipengaruhi oleh `illah tertentu, sehingga hukum itu
ditetapkan karena adanya `illahtersebut, demikian pula tidak ditetapkan
ketika hilang `illahnya.
e. Membedakan antara
sarana yang berubah‑ubah dan sasaran yang tetap.[34]
Salah satu kecerobohan umat bila memahami suatu hadis,
dengan mencampuradukkan antar sasaran dengan sarana, sebagian melihat
kemutlakan sarana mengabaikan sasarannya. Sehingga menampilkan sosok kehidupan
Nabi yang tidak lagi relevan dalam konteks kekinian (perkembangan peradaban
dengan sarana dan prasarananya yang jauh berbeda dengan masa Nabi)
f. Membedakan antara
ungkapan yang bermakna sebenarnya dan yang bersifat majaz dalam
memahami hadis Nabi.[35]
Nabi SAW hidup di tengah masyarakat Arab yang sadar akan
nilai seni, beliau dikenal menguasai balagah(ilmu retorika),
karenanya banyak di antara ungkapan itu yang sarat akan makna‑makna majaz (kiasan,
metafor) disamping ungkapan haqiqi (sebenarnya), karenanya
umat dalam memahami hadis juga harus mampu membedakan ungkapan beliau yang
sarat akan makna majaz (kiasan)
g. Membedakan antara hadis
yang memuat alam gaib dengan alam yang kasat mata.[36]
Di antara penjelasan Nabi SAW terkait dengan alam gaib
sebagai bagian dari keimanan umat Islam., seperti Allah, Malaikat, surga neraka
dan sejenisnya. Tentang hal ini diperlukan kearifan memahaminya, khususnya bila
hadis itu sahih, maka sekiranya bertentangan
dengan kemampuan akal, tidak tergesa diklaim da’if, karena boleh
jadi ketidak mampuan akal dalam memahaminya.
h. Memastikan makna dan
konotasi kata-kata dalam hadis.[37]
Ungkapan bahasa suatu masyarakat memiliki cakupan
makna tersendiri
(makna konotasi) yang mungkin berbeda
dengan ungkapan yang sama pada masyarakat
yang berbeda,
karenanya harus hati‑hati dalam memahami kata‑kata konotatif tersebut
- Syuhudi Ismail
Menurut Syuhudi Ismail, al‑Qur’an telah menjelaskan fungsi
serta tugas Nabi Muhammad, baik sebagai rahmatan li al‑‘alamin,
juga sebagai manusia biasa. Oleh karenanya apa yang lahir dari ekspresi Nabi
SAW, disamping memiliki muatan universal, pada saat yang sama, ekspresi
tersebut juga muncul dari diri Muhammad sebagai manusia biasa yang hidup pada
konteks waktu dan wilayah yang terbatas.
Beliau juga hidup bersama yang lain (berinteraksi) baik
sebagai keluarga, tetangga, kepala negara, da`i dan sebagainya, sehingga
kompleksitas diri yang integral dalam dirinya turut mewarnai apa yang terlahir
dari aktualisasi hidupnya.
Berdasarkan argumen itulah maka hadis Nabi sarat akan nilai
universal, temporal dan lokal, pada sisi lain sarat akan fungsi beliau sebagai
Rasul, kepala negara, pemimpin masyarakat, panglima perang, hakim, pribadi dan
lainnya. Hal ini pulalah yang harus diperhatikan ketika memahami hadis
tersebut.[38]
Syuhudi Ismail juga menjelaskan bahwa apa yang terekam
dari aktualisasi Nabi yang dikenal
kemudian dengan hadis‑hadis
Nabawi
merupakan teks‑teks yang kemudian dapat dipahami dari makna yang tersurat,
tetapi sekaligus dapat dipahami pada konteks apa teks tersebut muncul. Itulah
sebabnya, ada beberapa hadis yang tepat
ketika dipahami secara teks,
tetapi ada pula yang kurang tepat kalau
tidak dipahami konteksnya. Hal inilah yang
melahirkan pemahaman tekstual dan kontekstual.[39]
Lebih lanjut Syuhudi memetakan bentuk matan Hadis yang
menuntut cara pemahaman yang berbeda‑beda masing-masing bentuk tersebut, di
antaranya berbentuk kalimat pendek yang padat makna (Jawami’ al‑Kalam),
bentuk tamsil, bentuk ungkapan simbolik, bentuk dialog, dan ungkapan analogi.[40]
Peta lainnya adalah memahami hadis berdasarkan peran dan
fungsi Muhammad, apakah sebagai Rasulullah, pemimpin negara, pribadi dan
sebagainya.[41] Peta
lainnya adalah petunjuk hadis Nabi SAW yang dibubungkan dengan sebab yang
mengiringi baik secara langsung tergambar dalam hadis maupun tidak, baik sebab
khusus ataupun umum.[42]
Dan terakhir Syuhudi memberikan teknik penyelesaian dalam
memahami hadis‑hadis yang tampak saling bertentangan.[43] Hadis
tersebut dinilai ikhtilaf (dipertentangkan) bila memiliki
kualitas yang setara sementara redaksinya bertolak belakang, oleh karena itu
penelitian terhadap sanad menjadi penting sebelum diklaim hadis itu ikhtilaf.
Syuhudi mengemukakan beberapa upaya ulama sebelumnya dalam
menyelesaiakn hadis‑hadis yang mukhtalaf tersebut, antara
lain:[44]
1. al‑Tarjih (meneliti
dan menentukan petunjuk hadis yang memiliki argumen yang lebih kuat)
2. al-Jam’u a1‑Taufiq atau al‑Talfiq, yakni
kedua hadis yang tampak bertentangan dikompromiskan, atau sama-sama diamalkan
sesuai konteksnya)
3. al‑Nasikh wa al‑Mansukh (petunjuk
dalam hadis yang satu dinyatakan sebagai “penghapus” dan yang lainnya sebagai
“yang dihapus”)
4. al‑Tauqif(“menunggu” sampai
ada petunjuk atau dalil lain yang dapat menjernihkan dan menyelesaikan
pertentangan.
Dari beberapa model penyelesaian tersebut antara ulama satu
dengan ulama lainnya menggunakan tolok ukur serta prioritas yang berbeda, ada
yang mendahulukan al-Jam’u, ada yang mendahulukan al‑Tarjih,
ada pula yang mendahulukan al‑Nasikh wa al‑Mansukh di atas
cara yang lainnya.
Upaya ini dilakukan ulama untuk meyakinkankan bahwa pada
dasarnya dalam hadis‑hadis itu tidak ada pertentangan, kalaupun. ada perbedaan
redaksi yang seolah bertentangan, boleh jadi karena tidak memahami konteks
masing‑masing, atau sejarah atau kapan hadis itu muncul.
BAB III
HADIS LARANGAN MENAFSIRKAN AL-QUR’AN DENGAN AL-RA’Y
Redaksi Hadis
Hadis-hadis tentang larangan menafsirkan al‑Qur’an dengan al‑ra’y yang
sering dijadikan landasan ulama ketika membahas persoalan ini adalah intinya
berbunyi sebagai berikut:
مَنْ
قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Hadis dengan substansi yang hampir sama dengan muatan
redaksi hadis di atas cukup banyak, oleh karena itu penelitian ini hanya
memfokuskan kepada beberapa redaksi hadis yang memungkinkan memuat maksud yang
agak berbeda. Pemilihan secara purposedini juga dimaksudkan untuk
memfokuskan bahasan pada aspek pemahaman materi hadis bukan semata‑mata aspek
sanad hadis, sekalipun aspek yang terakhir ini menjadi bagian tak terpisahkan
dari hadis itu sendiri.
Berdasarkan penelusuran kata man qala fi al‑Qur’an, fi
kitabillah, bira’yihi, bigair ‘ilm dan yang setara
dengannya melalui kitab al‑Mu'jam karya A.J. Wensinck[45],
peneliti mendapati beberapa hadis dan akan memaparkan 4 model hadis tersebut
antara lain:
1. Inti hadis ”siapa yang
menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka
hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka”, redaksi hadis selengkapnya
sebagai berikut:
حَدَّثَنَا سُفْيَانُ بْنُ وَكِيعٍ حَدَّثَنَا
سُوَيْدُ بْنُ عَمْرٍو الْكَلْبِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ
الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا
عَلِمْتُمْ فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ وَمَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ
النَّارِ قَالَ أَبو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ (الترمذى)
(al‑Turmuzi berkata): Sufyan bin Waki’ menceritakan kepada
kami, (Sufyan berkata): Suwaid bin `Amr al-Kalbi menceritakan kepada kami,
(Suwaid berkata): Abu `Awanah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la dari
Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas dari Nabi Saw, beliau bersabda; takutlah
kalian (hati‑hati dalam memegangi) hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar
telah aku ajarkan kepada kalian, barangsiapa berbohong atas namaku secara
sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya dari api neraka, siapa
yang mengatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka hendaklah ia
menempati tempat duduknya dari api neraka[46]
- Inti Hadis “siapa yang menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an tanpa landasan ilmu maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka” redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا مَحْمُودُ بْنُ غَيْلَانَ حَدَّثَنَا
بِشْرُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ
بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِي اللَّهم عَنْهممَا قَالَ قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ
عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا
حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيح ٌ (الترمذى)
(Al‑Turmuzi berkata): Mahmud bin Gailan telah menceritakan
kepada kami, (Mahmud berkata): Bisyr bin al‑Syariy menceritakan kepada kami,
(Bisyr berkata): Sufyan menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la dari Sa`id
bin Jubair dari Ibn `Abbas Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang
mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan, maka
hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka” Abu `Isa (al‑Turmuzi)
berkata: hadis ini hasan sahih[47]
حَدَّثَنَا وَكِيعٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ
عَبْدِ الْأَعْلَى الثَّعْلَبِيِّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)
(Ahmad berkata): Waki` telah menceritakan kepada kami,
(Waki` berkata): Sufyantelah menceritakan kepada kami dari `Abd al‑A`la al‑Sa`labi
dari Sa`id bin Jubair dari Ibn `Abbas Ra., ia berkata: Rasulullah SAW bersabda:
siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an dengan tanpa landasan pengetahuan,
maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api neraka.[48]
حَدَّثَنَا مُؤَمَّلٌ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي
الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)
(Ahmad berkata): Mu`ammal telah menceritakan kepada kami,
(Mu`ammal berkata): Sufyan telah menceritakan kepada kami, (Sufyan berkata):
`Abd al‑A`la al‑ telah menceritakan dari Sa`id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas Ra.,
ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: siapa yang mengatakan tentang (isi) al‑Qur’an
dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya
dari api neraka.[49]
- Inti hadis “siapa yang menyatakan kebohongan tentang al‑Qur’an dengan ra’yu-nya maka hendaklah ia menempati tempat duduk dari api neraka”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا أَبُو
عَوَانَةَ عَنْ عَبْدِ الْأَعْلَى عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ
قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اتَّقُوا
الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ فَإِنَّهُ مَنْ كَذَبَ عَلَيَّ
مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ وَمَنْ كَذَبَ فِي
الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارَ (احمد)
(Ahmad berkata): Abu al‑Walid telah menceritakan kepada
kami, (Abu al‑Walid berkata): Abu `Awanah telah menceritakan kepada kami dari
`Abd al‑A`la dari Sa`id bin Jubair dari Ibn ‘Abbas Ra., ia berkata: Rasulullah
SAW bersabda: takutlah kalian (hati‑hati) terhadap hadis-hadis dariku kecuali
yang benar‑benar telah aku ajarkan kepada kalian, karena sesungguhnya siapa
yang berbohong atas namaku secara sengaja maka hendaklah ia menempati tempat
duduk dari api neraka dan siapa yang berbohong tentang (isi) al-Qur’an dengan
tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya dari api
neraka.[50]
حَدَّثَنَا عَفَّانُ حَدَّثَنَا أَبُو عَوَانَةَ
حَدَّثَنَا عَبْدُ الْأَعْلَى الثَّعْلَبِيُّ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنِ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اتَّقُوا
الْحَدِيثَ عَنِّي إِلَّا مَا عَلِمْتُمْ قَالَ وَمَنْ كَذَبَ عَلَى الْقُرْآنِ
بِغَيْرِ عِلْمٍ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ (احمد)
(Ahmad berkata): `Affan telah menceritakan kepada kami,
(`Affan berkata): Abu `Awanah telah menceritakan kepada kami, (Abu `Awanah
berkata); `Abd al‑A`la al‑Sa`labi telah menceritakan kepada kami dari Sa`id bin
Jubair dari Ibn `AbbasRa. dari Rasulillah SAW, beliau bersabda: takutlah kalian
(hati‑hati) terhadap hadis‑hadis dariku kecuali yang benar‑benar telah aku
ajarkan kepada kalian, beliau bersabda: siapa yang berbohong atas al-Qur’an
dengan tanpa landasan pengetahuan, maka hendaklah ia menempati tempat dudukya
dari api neraka.[51]
4. Inti hadis “siapa yang
menyatakan sesuatu tentang al‑Qur’an dengan ra’yu‑nya maka bila
benarpun ia telah salah”, redaksi hadis selengkapnya sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَبْدُ بْنُ حُمَيْدٍ حَدَّثَنَا
حَبَّانُ بْنُ هِلَالٍ حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ وَهُوَ ابْنُ
أَبِي حَزْمٍ أَخُو حَزْمٍ الْقُطَعِيِّ حَدَّثَنَا أَبُو عِمْرَانَ الْجَوْنِيُّ
عَنْ جُنْدَبِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ
أَخْطَأَ قَالَ أَبمو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ غَرِيبٌ (الترمذى)
(al‑Turmuzi berkata): `Abd bin Humaid telah menceritakan
kepada kami (`Ubaid berkata): Habban bin Hilal telah menceritakan kepada kami,
(Habban berkata): Suhail bin `Abdillah yaitu Ibn Abi Hazm saudara dari
Hazm al‑Quta`iy telah menceritakan kepada kami, (Suhail berkata): Abu `Imran al‑Jauni
telah menceritakan kepada kami dari Jundub bin `Abdillah, ia berkata;
Rasulullah SAW bersabda: siapa menyatakan, tentang (isi) kitab Allah `Azza wa
Jalla dengan ra’yu‑nya lalu benar (hasilnya), maka sungguh ia telah bersalah.
Abu `Isa al‑Turmuzi berkata: ini hadis garib[52]
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مُحَمَّدِ بْنِ
يَحْيَى حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِسْحَاقَ الْمُقْرِئُ الْحَضْرَمِيُّ
حَدَّثَنَا سُهَيْلُ بْنُ مِهْرَانَ أَخِي حَزْمٍ الْقُطَعِيُّ حَدَّثَنَا أَبُو
عِمْرَانَ عَنْ جُنْدُبٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مَنْ قَالَ فِي كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ
فَقَدْ أَخْطَأَ (ابو داود)
(Abu Dawud berkata): `Abdullah bin Muhammad bin Yahya telah
menceritakan kepada kami. (`Abdullah berkata): Ya`qub bin Ishaqal‑Muqri’ al‑Hadrami
telah menceritakan kepada kami, (Ya`qub berkata): Suhail bin Mihran sudara dari
Hazm al‑Quta`iy telah menceritakan kepada kami, (Suhail berkata): Abu `Imran
telah menceritakan kepada kami dari Jundub, ia berkata; Rasulullah SAW
bersabda: siapa menyatakan tentang (isi) kitab Allah `Azza wa Jalla dengan
ra’yu‑nya lalu benar (hasilnya), maka sungguh ia telah bersalah.[53]
Nilai Hadis
Hadis‑hadis diatas secara umum bersumber dari dua orang
sahabat, model 1, 2 dan 3 bersumber dari Ibn `Abbas, sedangkan model 4
bersumber dari Jundub, artinya hadis‑hadis di atas diriwayatkan oleh orang
perorang (ahad) atau tidak sampai pada derajat mutawatir, oleh
karena itu meneliti sejauh mana kualitasnya menjadi penting guna digunakannya
sebagai hujjah.
Berikut gambaran skematis jalur periwayatan hadis no 1‑4
lengkapnya disini: http://web.unmetered.co.id/hadis-hadis-larangan-menafsirkan-al-qur/
No comments:
Post a Comment