MALAIKAT MENCATAT SEMUA PERBUTAN MANUSIA
Oleh
Ustadz Nur Kholis bin Kurdian
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ
نَفْسُهُ ۖ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴿١٦﴾ إِذْ
يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
﴿١٧﴾ مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa
yang telah dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari
pada urat lehernya.Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal
perbuatannya, satu duduk di sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah
kiri.Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya
malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:16-18]
ARTI KATA (MAKNA MUFRADAT) DALAM AYAT
تُوَسْوِسُ : (hatinya) membisikkan.
حَبْلِ الْوَرِيدِ : urat leher.
يَتَلَقَّى : mencatat (amal perbuatannya).
الْمُتَلَقِّيَانِ : kedua (malaikat) yang mencatat.
قَعِيدٌ : duduk
يَلْفِظُ : mengucapkan
رَقِيبٌ : (malaikat) pengawas.
عَتِيد : yang selalu hadir/ bersama.
MAKNA AYAT SECARA UMUM
Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah mengatakan, “Allâh Subhanahu wa
Ta’ala mengabarkan bahwa Dialah yang menciptakan manusia, baik laki
maupun perempuan, Dia Mengetahui keadaan mereka, mengetahui apa yang
membuat hati mereka senang dan apa yang dibisikkan oleh hati mereka.
Kedekatan-Nya dengan manusia lebih dekat daripada urat lehernya, padahal
urat leher ini termasuk anggota tubuh yang paling dekat dari manusia.
Yaitu urat yang berada di sekitar lubang tenggorokan. Pemberitahuan
Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini dapat memotivasi seseorang untuk murâqabah
(merasa diawasi) oleh Sang Pencipta, yaitu Dzat yang mengawasi
batinnya, yang dekat darinya dalam segala situasi dan kondisi. Hendaklah
seseorang malu dilihat oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala jika ia mau
melakukan apa yang dilarang dan meninggalkan apa yang diperintahkan. Dan
sebelum seseorang mengucapkan atau melakukan kemungkaran atau
meninggalkan kewajibannya, hendaklah merasa diawasi oleh malaikat yang
berada di sebelah kanan dan kirinya yang siap melaksanakan tugasnya. Di
sebelah kanannya adalah malaikat pencatat perkataan dan perbuatan baik,
sedangkan di sebelah kirinya adalah malaikat pencatat perkataan dan
perbuatan buruk. Tidak ada satu pun perkataan yang terucap, baik
perkataan itu baik atau buruk melainkan ada malaikat yang senantiasa
mengawasi dan hadir bersamanya untuk mencatat ucapannya tersebut.[1]
Cerita Lucu :
ILMU DAN PENGETAHUAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA TERHADAP SEGALA SESUATU
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
وَلَقَدْ خَلَقْنَا الْإِنْسَانَ وَنَعْلَمُ مَا تُوَسْوِسُ بِهِ نَفْسُهُ
Dan sungguh kami telah menciptakan manusia dan kami mengetahui apa yang dibisikkan hatinya,…[Qâf/50:16].
Syaikh asy-Syinqithi rahimahullah berkata, “Dalam ayat ini, Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan bahwa tidak ada yang tersembunyi bagi
Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Yang tersembunyi pun sama seperti yang
nampak di sisi-Nya, dan Dia Maha Mengetahui gerak-gerik hati dan apa
yang nampak.”[2]
Jadi Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui dan menyaksikan apa-apa
yang tersembunyi dalam hati manusia, dan mengetahui apa yang diperbuat
oleh manusia di manapun ia berada, di darat, di udara maupun di laut,
pada waktu malam atau pun siang, di dalam rumah atau pun di luar rumah;
Semuanya sama dalam pengawasan Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia melihat
di manapun manusia berada serta mengetahui apa-apa yang mereka
sembunyikan.[3]
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam ayat lain :
وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي أَنْفُسِكُمْ فَاحْذَرُوهُ ۚ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ غَفُورٌ حَلِيمٌ
Dan ketahuilah sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada dalam hati
kalian, maka takutlah kepada-Nya, dan ketahuilah sesungguhnya Allâh Maha
pengampun lagi Maha penyantun. [al-Baqarah/2:235].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman pada ayat lain :
إِنَّ اللَّهَ لَا يَخْفَىٰ عَلَيْهِ شَيْءٌ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي السَّمَاءِ
Sesungguhnya bagi Allâh tidak ada suatupun yang tersembunyi di bumi dan tidak pula di langit. [Ali ‘Imrân/3:5]
Ayat di atas dan yang semisalnya menunjukkan bahwa Allâh Subhanahu wa
Ta’ala itu maha tahu terhadap segala sesuatu. Ini memberikan pelajaran
agar kita senantiasa merasa diawasi oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam
setiap ucapan dan tingkah-laku, karena kita tidaklah terlepas dari
pengawasan-Nya.
Salah seorang dari Ulama salaf berkata, “Jika kalian melakukan suatu
perbuatan, maka ingatlah bahwa Allâh Subhanahu wa Ta’ala memandang
perbuatanmu; dan jika engkau berbicara, maka ingatlah pendengaran Allâh
Subhanahu wa Ta’ala atas pembicaraanmu; dan ketika engkau diam, maka
ingatlah pengetahuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas apa yang ada di
dalam hatimu).[4]
Murâqabatullah (rasa diawasi dan dilihat Allâh Subhanahu wa Ta’ala )
ini apabila menancap kuat dalm hati seorang hamba dalam setiap
gerak-geriknya, maka ini akan membentengi dia dari perbuatan maksiat,
sebagaimana telah dilakukan oleh Nabi Allâh yakni Yûsuf Alaihissallam
menghindar dari godaan Zulaikhah, isteri seorang raja yang cantik
jelita. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengisahkan dalam firman-Nya :
وَرَاوَدَتْهُ الَّتِي هُوَ فِي بَيْتِهَا عَنْ نَفْسِهِ وَغَلَّقَتِ الْأَبْوَابَ وَقَالَتْ هَيْتَ لَكَ ۚ قَالَ مَعَاذَ اللَّهِ
Dan wanita (Zulaikha) yang Yûsuf tinggal di rumahnya yang menggoda
Yûsuf untuk menundukkan dirinya dan dia menutup pintu-pintu, seraya
berkata:”Marilah kesini”, Yûsuf berkata: “Aku berlindung kepada Allâh”.
[Yûsuf/12:23].
Demikian pula diriwayatkan oleh Imam al-Baihaqi rahimahullah,
bahwasannya ada seorang al-A’rabi (orang gurun/baduwi), ketika ia keluar
dari rumahnya saat malam hari yang gelap gulita ia bertemu dengan budak
perempuan, kemudian ia ingin berbuat zina dengan budak tersebut, lalu
si budak perempuan pun berkata, “Celaka kamu, apa kamu tidak malu
melakukan ini ? Apa kamu tidak memiliki agama yang melarangmu dari
perbuatan mesum ini?” Si Baduwi pun menjawab, “Sungguh, tidak ada yang
melihat kita kecuali bintang-bintang di langit saja”. Si budak perempuan
menjawab, “Bukankah Sang Pencipta bintang melihat kita ?”[5]
Murâqabah inilah yang menyebabkan seseorang berbuat jujur dalam tutur
kata dan perilakunya. Murâqabah juga menjadikan seseorang melaksanakan
amanat dan tidak berkhianat, berbuat adil dan tidak menzhalimi orang
lain, tidak mengambil harta yang bukan haknya, baik secara
sembunyi-sembunyi (korupsi) maupun terang-terangan (merampok). Jika
murâqabah tersebut ada di hati setiap Muslim, niscaya dunia Islam akan
menemui kejayaan, para pejabat tidak korupsi, bahkan menyisihkan harta
mereka untuk fakir miskin serta menegakkan keadilan. Dengan murâqabah
ini, para pedagang pun tidak mengurangi timbangan, tempat-tempat
kemaksiatan pun akan gulung tikar dengan sendirinya, pencuri, perampok,
PSK, pengedar dan konsumen narkoba akan meninggalkan profesi mereka,
dengan tanpa adanya pemaksaan atas diri mereka.
Ada satu pertanyaan, jika Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengetahui apa
yang tersembunyi dalam hati seorang hamba, apakah setiap suara hati yang
mengajak kepada kemungkaran akan dicatat sebagai kemaksiatan dan dosa ?
jawaban dari pertanyaan ini adalah sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam :
إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا، مَا لَمْ يَتَكَلَّمُوا، أَوْ يَعْمَلُوا بِهِ
Sesungguhnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala memaafkan umatku dari bisikan
jelek jiwanya selagi ia tidak mengatakannya atau melakukannya. (HR
Bukhâri dan Muslim).[6]
Jadi, bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada
kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa, selagi hal itu tidak diungkapkan
dengan ucapan atau diwujudkan dalam perbuatan.
PENAFSIRAN KEDEKATAN ALLAH SUBHANAHU WA TA’ALA
Selanjutnya Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ
Dan Kami lebih dekat kepadanya dari pada urat lehernya. [Qâf/50:16].
Penggalan ayat di atas, jika dipahami secara zhahir lafadznya
(tekstual) memberikan pemahaman bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu
lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya. Pemahaman seperti ini
menyebabkan sebagian orang beranggapan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa
Ta’ala ada dalam diri manusia, sehingga ia tidak dapat membedakan antara
si makhluk dengan sang Khaliq, sampai-sampai ada yang mengucapkan
kalimat tahlîl dengan mengatakan “lâ ilâha illâ ana” (tidak ada tuhan
kecuali aku), dengan beranggapan bahwa Sang Khaliq ada dalam dirinya.
Pemahaman seperti ini tidak benar, dan Maha Suci Allâh Subhanahu wa
Ta’ala dari pemahaman seperti ini; Karena di samping menyelisihi
pemahaman para Ulama, pemahaman ini juga memberi makna bahwa Allâh
Subhanahu wa Ta’ala menyatu dengan semua orang, baik yang shalih, kafir
maupun fasiq, Maha Tinggi Allâh Subhanahu wa Ta’ala dari yang demikian
itu…! Pemahaman ini juga menyelisihi ayat-ayat Allâh Subhanahu wa Ta’ala
yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada di atas
‘Arsy-Nya, seperti disebutkan dalam firman Allâh Subhanahu wa Ta’ala :
الرَّحْمَٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَىٰ
Yang Maha Pengasih bersemayam di atas Arsy-Nya. [Thahâ/20:5].
Pada ayat yang lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam hari kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, …
[al-A’râf/7:54].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman :
إِنَّ رَبَّكُمُ اللَّهُ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ فِي
سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ يُدَبِّرُ الْأَمْرَ
Sesungguhnya Rabbmu adalah yang telah menciptakan langit dan bumi
dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya untuk
mengatur segala urusan… [Yûnus/10:3].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
اللَّهُ الَّذِي رَفَعَ السَّمَاوَاتِ بِغَيْرِ عَمَدٍ تَرَوْنَهَا ۖ
ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ ۖ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ ۖ
كُلٌّ يَجْرِي لِأَجَلٍ مُسَمًّى
“Allâh-lah yang meninggikan langit tanpa tiang sebagaimana yang kamu
lihat, kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy-Nya, dan menundukkan
matahari dan bulan, masing-masing beredar sampai batas waktu yang
ditentukan…[ar-Ra’d/13:2].
Allâh Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman.
الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ ثُمَّ اسْتَوَىٰ عَلَى الْعَرْشِ
“Yang menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya
dalam enam hari, kemudian Dia bersemayam di atas
‘Arsy-Nya…[al-Furqân/25:59].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat yang menjelaskan bahwa Dzat Allâh
Subhanahu wa Ta’ala ada di atas ‘Arsy-Nya, tidak menyatu dalam diri
manusia.
Syaikhul-Islam mengatakan, “Adapun orang yang beranggapan bahwa
kedekatan Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat di atas adalah kedekatan
Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala , maka pemahaman yang seperti ini adalah
sangat lemah, karena menurut mereka Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala ada
di mana mana. Kalaulah Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu ada di
mana-mana, maka Ia dekat dengan segala sesuatu. Ia juga dekat dari
seluruh anggota tubuh manusia; jika demikian, maka pengkhususan pada
ayat di atas bahwa Dzat Allâh Subhanahu wa Ta’ala itu lebih dekat kepada
manusia dari pada urat lehernya menjadi tidak ada artinya.”[7]
LANTAS, BAGAIMANAKAH PENAFSIRAN PARA ULAMA TERHADAP AYAT DI ATAS?
Para Ulama, dalam menafsirkan ayat di atas, mereka berbeda pendapat.
Pendapat pertama mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah kedekatan
maqdarah (kemampuan dan kekuasaan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan
kedekatan ilmu[8] (pengetahuan) Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap
manusia.[9] Pendapat kedua mengatakan bahwa kedekatan tersebut adalah
kedekatan Malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala terhadap manusia.[10]
Pendapat kedua inilah yang râjih (kuat) karena memiliki argumentasi yang kuat pula, diantaranya:
1. Pertama. Allâh Subhanahu wa Ta’ala mengikat potongan ayat di atas
dengan Zharaf zaman (keterangan waktu) yang terletak pada ayat
berikutnya, yakni :
إِذْ يَتَلَقَّى الْمُتَلَقِّيَانِ عَنِ الْيَمِينِ وَعَنِ الشِّمَالِ قَعِيدٌ
Yaitu ketika kedua malaikat mencatat amal perbuatannya, satu duduk di
sebelah kanan dan yang lain duduk di sebelah kiri. [Qâf/50:17].
Hal itu memberikan makna, yang dimaksud dengan kedekatan Kami pada
ayat di atas adalah kedekatan malaikat-malaikat-Nya, dan tidak cocok
kalau diartikan dengan kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla atau kedekatan
kekuasaan-Nya, karena kedekatan ilmu Allâh Azza wa Jalla dan
kekuasaan-Nya terhadap makhluk-Nya itu setiap saat dan tidak terikat
dengan waktu tertentu. Dan andaikata diartikan dengan kedekatan ilmu
atau kekuasaan, maka tidak ada artinya ikatan dzaraf zaman tersebut.[11]
2. Kedua. Allâh Azza wa Jalla menyebutkan dengan kata jamak نحن
(Kami). Hal ini, jika disebutkan di dalam ayat-ayat al-Qur’ân, maka
maknanya adalah Allâh Azza wa Jalla melakukannya dengan cara
memerintahkan para malaikat-Nya untuk melaksanakannya, seperti terdapat
pada banyak ayat diantaranya :
نَتْلُو عَلَيْكَ مِنْ نَبَإِ مُوسَىٰ وَفِرْعَوْنَ بِالْحَقِّ لِقَوْمٍ يُؤْمِنُونَ
Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir’aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. [al-Qashash/28:3].
نَحْنُ نَقُصُّ عَلَيْكَ أَحْسَنَ الْقَصَصِ بِمَا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ
هَٰذَا الْقُرْآنَ وَإِنْ كُنْتَ مِنْ قَبْلِهِ لَمِنَ الْغَافِلِينَ
Kami menceritakan kepadamu kisah yang paling baik dengan mewahyukan
al-Qur’an ini kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelum kami mewahyukannya
adalah termasuk orang-orang yang belum mengetahui. [Yûsuf/12:3]
إِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَهُ وَقُرْآنَهُ ﴿١٧﴾ فَإِذَا قَرَأْنَاهُ فَاتَّبِعْ قُرْآنَهُ
Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan
(membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami selesai membacanya, maka
ikutilah bacaannya. [al-Qiyâmah/75:17-18].
Dan masih banyak lagi ayat-ayat lainnya yang kesemuanya itu
menunjukkan bahwa yang melakukan perbuatan tersebut adalah
malaikat-malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala atas perintah-Nya.[12]
Ketiga. Penggunaan uslûb (gaya bahasa) semacam ini sudah tidak asing
lagi dalam Bahasa Arab. Demikian ini sering digunakan oleh para pemimpin
dan pembesar Arab, yakni menyandarkan perbuatan para prajurit kepada
mereka, para pemimpin; yang perbuatan itu dilakukan atas dasar perintah
dari pemimpin mereka. Oleh karena itu sebagian pemimpin mengatakan “kami
telah menghabisi dan mengalahkan musuh”. Demikian pula para ahli
sejarah mengatakan “Raja Fulan telah menaklukkan negara ini dan itu”,
padahal yang melakukan adalah pasukan dan bala tentaranya atas
perintahnya. Dan termasuk gaya bahasa yang seperti ini pula pada
ayat-ayat yang telah disebutkan di atas, yakni dengan memakai kata jamak
yang menunjukkan bahwa yang melakukan hal itu adalah malaikat Allâh
Subhanahu wa Ta’ala atas dasar perintah-Nya.[13]
Dan masih banyak lagi argumentasi dari pendapat kedua tersebut. Jadi,
maksud kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh
Subhanahu wa Ta’ala .
PERKATAAN DAN PERBUATAN MANUSIA DICATAT OLEH MALAIKAT
Selanjutnya Allâh Azza wa Jalla berfirman :
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
Tiada satu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir. [Qâf/50:18].
Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla menyebutkan bahwa ucapan manusia
itu tidak luput dari catatan dua malaikat-Nya yang ditugaskan sebagai
pencatat amal. Yang satu mencatat amalan baik, dan yang lainnya mencatat
amalan buruk. Hal ini dapat menjadi motivasi bagi setiap hamba yang
beriman untuk senantiasa merasa diawasi oleh malaikat pencatat amalan
dalam setiap perkataaan dan tingkah lakunya.
Lalu apakah semua ucapan manusia itu dicatat oleh malaikat sampai
yang mubah pula, misal seperti “Saya sudah makan, minum , pergi ,
datang”, dan lain-lain, atau hanya yang baik dan buruk saja?
Dalam hal ini, para Ulama berselisih pendapat terbagi dalam dua pendapat.
1. Pendapat pertama mengatakan bahwa yang dicatat itu adalah semua perkataan, baik perkataan yang mubah, haram maupun yang baik.
2. Pendapat kedua mengatakan tidak semua perkataan itu dicatat, akan
tetapi perkataan yang baik dan buruk saja. Dan yang râjih dari dua
pendapat ini adalah pendapat pertama, karena keumuman ayat di atas
menunjukkan bahwa semua perkataan itu dicatat oleh malaikat.[14]
Untuk apa semua amalan manusia itu dicatat ? Bukankah Allâh Azza wa Jalla mengetahui semuanya ?
Jawabannya, betul, Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hal itu, karena
Dia mengetahui segalanya, tidak ada yang tersembunyi sesuatupun
dari-Nya. Adapun Dia memerintahkan malaikat-Nya untuk mencatat amalan
manusia adalah karena ada hikmah lain di balik itu; misalnya untuk
menegakkan hujjah atau sebagai bukti atas manusia kelak pada hari kiamat
bahwa ia pernah berkata dan berbuat demikian dan demikian, sehingga
manusia tidak dapat mengingkarinya karena ada bukti catatan amalnya,
sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :
وَنُخْرِجُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كِتَابًا يَلْقَاهُ مَنْشُورًا
﴿١٣﴾ اقْرَأْ كِتَابَكَ كَفَىٰ بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ حَسِيبًا
Dan Kami keluarkan baginya pada hari kiamat sebuah kitab (catatan
amal) yang dijumpainya terbuka. “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu
sendiri pada waktu ini menghitung amalanmu sendiri”.
[al-Isrâ/17:13-14].[15]
PELAJARAN YANG DAPAT DIPETIK DARI AYAT
1. Allâh Subhanahu wa Ta’ala Maha Mengetahui segala sesuatu sampai apa
saja yang ada dalam hati manusia, maka hendaklah dijadikan sebagai
motivasi setiap muslim untuk senantiasa merasa diawasi oleh Allâh
Subhanahu wa Ta’ala pada setiap perkataan maupun perbuatan.
2. Bisikan hati atau suara hati yang mungkar atau mengajak kepada
kemungkaran tidak dicatat sebagai dosa selagi tidak diungkapkan dalam
ucapan atau diwujudkan dengan perbuatan.
3. Perbuatan dan perkataan manusia tidak luput dari catatan dua
malaikat Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang selalu mengawasi dan hadir
bersama manusia, maka hendaklah dijadikan sebagai motivasi oleh setiap
muslim untuk menjaga perkataan dan perbuatannya dari hal-hal yang tidak
diradhai Allâh Subhanahu wa Ta’ala .
4. Kedekatan pada ayat di atas adalah kedekatan malaikat Allâh
Subhanahu wa Ta’ala yang lebih dekat kepada manusia dari urat lehernya.
5. Dua malaikat pencatat amal manusia itu berada di sebelah kanan dan
kirinya. Di sebelah kanan pencatat amalan baik, dan di sebelah kiri
pencatat amalan buruk, bukan berarti di sebelah kanan dan kiri itu di
sebelah pundak kanan dan kiri manusia, sehingga terkesan kontradiksi
dengan kedekatan kepada manusia melebihi dekatnya urat leher, akan
tetapi kedekatan malaikat tersebut tetap lebih dekat kepada manusia dari
urat lehernya meski posisi mereka berada di sebelah kanan dan kiri.
Adapun keberadaan mereka terletak di mana ? Maka Allâh Subhanahu wa
Ta’ala yang lebih mengetahui perihal ini.
6. Diantara hikmah dari pencatatan perkataan dan perbuatan manusia,
ialah untuk menegakkan hujjah atas mereka kelak pada hari kiamat, atau
sebagai bukti bahwa ia dahulu, ketika di dunia telah berkata atau
berbuat demikian dan demikian, sehingga ia tidak dapat menolak dan
mengingkari hal itu karena ada bukti nyata. Wallâhu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013.
Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi
Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Tafsîr as-Sa’di, hlm. 805, Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di, Muassasah ar-Risâlah – Beirut, cet. Pertama th. 1420 H/ 2000 M.
[2]. Adhwâ’ul Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân, 2/170. Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Lebanon,
tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
[3]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 8/9, Ismail bin Umar Ibn Katsir, Dar Thaibah, Arab Saudi, Cet. Kedua, Th. 1420 H/ 1999 M.
[4]. Siyar A’lâmun-Nubalâ’, 11/485. Muhammad bin Ahmad adz-Dzahabi, Muassasah ar-Risalah-Beirut, Cet. Ketiga, Th. 1405 H/1985 M.
[5]. Syu’abul Îmân, 2/265, Ahmad bin Husain al-Baihaqi, Maktabah ar-Rusyd, Riyadh, Cet. Pertama, Th. 1423 H/ 2003M.
[6]. Sahîh Bukhâri, 8/135, Muhammad bin Ismail al-Bukhâri, Daar
Thauqun-Najah, Cet. Ketiga, Th. 1422 H. Hadits no. 6664. Sahîh Muslim,
1/166. Muslim bin al-Hajjaj al-Naisaburi, Daar Ihya’ Turats, Beirut,
tanpa tahun. Hadits no. 201.
[7]. Syarah Hadîts al-Nuzûl, hlm. 133-134. Ahmad bin Abdul-Halim Ibn
Taimiyyah, al-Maktab al-Islami, Beirut, Cet. Kelima, Th. 1397 H/ 1977 M.
Bit-tasharruf.
[8]. Mafâtihul Ghaib, Juz 28, hlm. 134. Muhammad bin Umar ar-Razi, Dar
Ihya’ at-Turats al-‘Arabi, Beirut, Cet. Kedua, Th. 1420 H. Lihat Tafsir
Ibn ‘Asyur (al-Tahrîr wa al-Tanwîr), 26/301. Muhammad al-Thahir bin
Muhammad Ibn ‘Asyur, al-Dar al-Tunusiyah li al-Nasyr, Tunisia, tanpa
cet. Th. 1964 M. Lihat al-Kasysyaf ‘an Haqâiq Ghawamidh al-Tanzîl,
4/383. Mahmud bin ‘Amr al-Zamakhsyari, Dar al-Kitab al-‘Arabi, Beirut,
Cet. Ketiga, Th. 1407 H. Lihat Anwâr al-Tanzîl wa Asrar al-Ta’wil,
5/141. ‘Abdullah bin Umar al-Baidhawi, Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi,
Beirut, Cet. Pertama, Th. 1418 H.
[9]. Jâmi’ul Bayân fi Ta’wîl Ayil-Qur’ân, 22/342. Muhammad bin Jarir
ath-Thabari, Muassasah ar-Risalah, Cet. Pertama, Th. 1420 H/ 2000 M.
Lihat al-Jâmi’ li Ahkâmil-Qur’ân, 17/9. Dar al-Kutub al-Mishriyah,
Kairo, Cet. Kedua, Th. 1384H/1964 M.
[10]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398, Ibn Katsir.
[11]. Mukhtashar al- Shawîiq al-Mursalah, hlm. 480, Muhammad bin
Muhammad al-Mushili, Dar al-Hadis, Kairo, Cet. Pertama, Th. 1422H/2001M.
[12]. Majmû’ al-Fatâwâ, 5/507, Ahmad bin ‘Abdul-Halim Ibn Taimiyah,
Mujamma’ al-Malik Fahd li Thiba’at al-Mushhaf al-Syarif, Madinah
Munawwarah. Cet. Th. 1416 H/ 1995 M.
[13]. Mukhtashar al-Shawâ-iq al-Mursalah, hlm. 494.
[14]. Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, 7/398.
[15]. Adhwâul Bayân fi Îdhâhil Qur’ân bil-Qur’ân, 7/426. Muhammad
al-Amin bin Muhammad al-Mukhtar al-Syinqithi, Dar al-Fikr, Libanon,
tanpa nomor cetakan, Th. 1415 H/ 1995 M.
No comments:
Post a Comment