ditemukan pula ion OH-, yang jumlahnya berbanding terbalik dengan banyaknya H+. pada tanah-tanah masam jumlah ion H+ lebih tinggi daripada OH-, sedang pada tanah alkalis kandungan OH- lebih banyak daripada H+. Bila kandungan H+ sama dengan OH- , maka tanah bereaksi netral yaitu mempunyai pH = 7 (Anonim 1991).
Di Indonesia umumnya tanahnya bereaksi masam dengan 4,0 – 5,5 sehingga tanah dengan pH 6,0 – 6,5 sering telah dikatakan cukup netral meskipun sebenarnya masih agak masam. Di daerah rawa-rawa sering ditemukan tanah-tanah sangat masam dengan pH kurang dari 3,0 yang disebut tanah sangat masam karena banyak mengandung asam sulfat.
Negara Wahabi: Negara Yang Aneh Tapi Nyata
Penyebab Tanah Masam
Tanah bereaksi masam (pH rendah) adalah karena tanah kekurangan Kalsium (CaO) dan Magnesium (MgO), ini disebabkan oleh:
- Curah hujan tinggi, pada daerah dengan iklim tropika basah, dengan curah hujan yang tinggi, secara alami tanah akan menjadi masam akibat pencucian unsur hara yang ada.
- Pupuk pembentuk asam, Pupuk nitrogen seperti Urea, ZA, Amonium Sulfat, Kcl, ZK adalah pupuk yang mempunyai pengaruh mengasamkan tanah.
- Drainase, Drainase yang kurang baik, genangan air yang terus menerus pada tanah yang berawa, tanah pada keadaan yang demikian selalu asam.
- Adanya unsur berlebihan, Al (Alumunium), Fe (Besi) dan Cu (Tembaga) dalam kadar yang berlebih, seperti disekitar pegunungan verbek atau daerah tambang nikel, besi dan tembaga selalu di jumpai tanah asam.
- Proses dekomposisi bahan organik, Pada tanah berbahan organik tinggi seperti pada tanah gambut selalu dijumpai tanah asam dengan pH rendah, hal itu karena proses dekomposisi bahan organik yang dalam prosesnya akan mengusir dan mengeluarkan unsur (Kalsium) CaO dari dalam tanah.
Tanah yang masam memiliki ciri berbau busuk, permukaan air seperti ditutupi lapisan karat besi, dan banyak tumbuh lumut.
Jenis tanah dari lahan ini digolongkan juga sebagai tanah bermasalah, yaitu tanah yang mempunyai sifat baik fisika, kimia, maupun biologi lebih jelek dibandingkan dengan tanah mineral umumnya sehingga produktivitas lahan jenis tanah ini tergolong rendah, bahkan sangat rendah (Tim IPB, 1992).
Tanah sulfat masam dapat dibedakan menjadi 2 golongan yaitu :
(1). Tanah sulfat masam potensial yang dicirinya antara lain lapisan pirit pada kedalaman>50 cm dari permukaan tanah
(2). Semua jenis tanah yang digolongkan sebagai tanah sulfat masam aktual.
Adapun yang dimaksud dengan tanah sulfat masam potensial yang dicirikan oleh warna kelabu, kemasaman sedang-sampai dengan masam (pH>4.0), sementara itu yang dimaksud dengan tanah sulfat masam aktual yang dicirikan dengan warna kecoklatan pada permukaan, dan sangat masam atau pH< 3,5 (Noor, 2004).
Tanah sulfat masam merupakan tanah yang mengandung senyawa pirit (FeS2), banyak terdapat di daerah rawa, pasang surut maupun lebak. Mikroorganisme sangat berperan dalam pembentukan tanah tersebut. Pada kondisi tergenang senyawa tersebut bersifat stabil, namun bila telah teroksidasi maka akan memunculkan problem bagi tanah, kualitas kimia perairan dan biota-biota yang berada baik di dalam tanah itu sendiri maupun yang berada di badan-badan air, dimana hasil oksidasi tersebut tercuci ke perairan tersebut.
Akibat dari Tanah Masam
Tanah yang masam dapat menyebabkan penurunan ketersediaan unsur hara bagi tanaman, meningkatkan dampak unsur beracun dalam tanah, penurunan hasil tanaman, mempengaruhi fungsi penting biota tanah yang bersimbiosis dengan tanaman seperti fiksasi nitrogen oleh Rhizobium.
Mensvoort dan Dent (1998) menyebutkan bahwa senyawa pirit (ferit) tersebut merupakan sumber masalah pada tanah tersebut. Selain itu jika tanah ini dikeringkan atau teroksidasi, maka senyawa pirit akan membentuk senyawa feri hidroksida Fe(OH)3 sulfat SO42- dan ion hidrogen H+ sehingga tanah menjadi sangat masam. Akibatnya kelarutan ion-ion Fe2+, Al3+ dan Mn2+ bertambah di dalam tanah dan dapat bersifat racun bagi tanaman. Ketersediaan fosfat menjadi berkurang karena diikat oleh besi atau aluminium dalam bentuk besi fosfat atau aluminium fosfat. Biasanya bila tanah masam kejenuhan basa menjadi rendah, akibatnya terjadi kekahatan unsur hara di dalam tanah (Putu dan Widjaya-Adhi, 1990).
Cara menanggulangi masalah tanah masam
Pada prinsipnya ada 4 masalah aktual utama pada tanah masam yaitu rendahnya kadar bahan organik tanah dan kadar unsur hara, dangkalnya perakaran tanaman, kekeringan, gangguan gulma alang-alang (Imperata cylindrica) serta diperparah oleh erosi dan pencucian unsur hara. Masalah-masalah tersebut ini seringkali menyulitkan suatu usaha tani untuk mencapai produksi yang tinggi secara berkelanjutan. Tingkat produksi yang tinggi dapat dicapai melalui berbagai upaya yang dapat mempertahankan kesuburan tanah yakni dengan penerapan sistem pengelolaan yang tepat.
Salah satu cara pengelolaan yang terbukti dapat mempertahankan kesuburan tanah-tanah masam adalah dengan menanam tanaman tahunan (pepohonan) bersama-sama dengan tanaman semusim dalam sebidang lahan yang sama (kebun campuran). Upaya-upaya pemecahan masalah yang ditujukan untuk mendapat produksi yang tinggi secara berkelanjutan seharusnya dilakukan tanpa mengakibatkan kerusakan (degradasi) pada sumberdaya lahan. Dalam hal ini perlu diperhatikan fungsi tanah sebagai media tumbuh tanaman dan fungsi tanaman dalam meminimalkan kehilangan tanah, air dan hara.
Penanganan Masalah Tanah Masam
Pada prinsipnya ada tiga kelompok cara penanganan masalah tanah masam yang berhubungan dengan pengelolaan kesuburan tanah dan pengendalian gulma di tingkat masyarakat, yaitu cara kimia, cara fisik-mekanik dan cara biologi.
Masing-masing cara memiliki kelebihan dan kekurangan, sehingga dalam praktek ketiga cara tersebut seringkali diterapkan secara bersama-sama.
1. Cara kimia
Cara kimia merupakan salah satu upaya pemecahan masalah kesuburan tanah dengan menggunakan bahan-bahan kimia buatan. Beberapa upaya yang sudah dikenal adalah pengapuran, pemupukan, dan penyemprotan herbisida.
A. Pengapuran
Pengapuran merupakan upaya pemberian bahan kapur ke dalam tanah masam dengan tujuan untuk:
a) Menaikkan pH tanah
Nilai pH tanah dinaikkan sampai pada tingkat mana Al tidak bersifat racun lagi bagi tanaman dan unsur hara tersedia dalam kondisi yang seimbang di dalam tanah. Peningkatan pH tanah yang terjadi sebagai akibat dari pemberian kapur, tidak dapat bertahan lama, karena tanah mempunyai sistem penyangga, yang menyebabkan pH akan kembali ke nilai semula setelah beberapa waktu berselang.
b) Meningkatkan Kapasitas Tukar Kation (KTK)
KTK meningkat sebagai akibat dari peningkatan pH tanah. Namun peningkatan KTK ini juga bersifat tidak tetap, karena sistem penyangga pH tanah tersebut di atas.
c) Menetralisir Al yang meracuni tanaman.
Karena unsur Ca bersifat tidak mudah bergerak, maka kapur harus dibenamkan sampai mencapai kedalaman lapisan tanah yang mempunyai
konsentrasi Al tinggi. Hal ini agak sulit dilakukan di lapangan, karena dibutuhkan tenaga dalam jumlah banyak dan menimbulkan masalah baru yaitu pemadatan tanah. Alternatif lain adalah menambahkan dolomit (Ca, Mg(CO3)2) yang lebih mudah bergerak, sehingga mampu mencapai lapisan tanah bawah dan menetralkan Al. Pemberian kapur seperti ini memerlukan pertimbangan yang seksama mengingat pemberian Ca dan Mg akan mengganggu keseimbangan unsur hara yang lain.
Tanaman dapat tumbuh baik, jika terdapat nisbah Ca/Mg/K yang tepat di dalam tanah. Penambahan Ca atau Mg seringkali malah mengakibatkan tanaman menunjukkan gejala kekurangan K, walaupun jumlah K sebenarnya sudah cukup di dalam tanah. Masalah ini menjadi semakin sulit dipecahkan, jika pada awalnya sudah terjadi kahat unsur K pada tanah tersebut.
B. Pemupukan: penambahan unsur hara
Pemupukan merupakan jalan termudah dan tercepat dalam menangani masalah kahat hara, namun bila kurang memperhatikan kaidah-kaidah
pemupukan, pupuk yang diberikan juga akan hilang percuma. Pada saat ini sudah diketahui secara luas bahwa tanah-tanah pertanian di Indonesia terutama tanah masam kahat unsur nitrogen (N), fosfor (P) dan kalium (K). Oleh karena itu petani biasanya memberikan pupuk N, P, K secara sendiri-sendiri atau kombinasi dari ketiganya. Pupuk N mudah teroksidasi, sehingga cepat menguap atau tercuci sebelum tanaman menyerap seluruhnya. Pupuk P diperlukan dalam jumlah banyak karena selain untuk memenuhi kebutuhan tanaman juga untuk menutup kompleks pertukaran mineral tanah agar selalu dapat tersedia dalam larutan tanah.
Pemupukan K atau unsur hara lain dalam bentuk kation, akan banyak yang hilang kalau diberikan sekaligus, karena tanah masam hanya mempunyai daya ikat kation yang sangat terbatas (nilai KTK tanah-tanah masam umumnya sangat rendah). Unsur hara yang diberikan dalam bentuk kation mudah sekali tercuci.
Supaya tujuan yang ingin dicapai melalui pemupukan dapat berhasil dengan baik, maka harus diperhatikan hal-hal berikut:
a). Waktu pemberian pupuk
Waktu pemberian pupuk harus diperhitungkan supaya pada saat pupuk diberikan bertepatan dengan saat tanaman membutuhkannya, yang dikenal dengan istilah sinkronisasi (Gambar 4.1). Hal ini dimaksudkan agar tidak banyak unsur hara yang hilang tercuci oleh aliran air, mengingat intensitas dan curah hujan di kawasan ini sangat tinggi. Waktu pemberian pupuk yang tepat bervariasi untuk berbagai jenis pupuk dan jenis tanamannya.
Pemupukan N untuk tanaman semusim sebaiknya diberikan paling tidak dua kali, yaitu pada saat tanam dan pada saat pertumbuhan maksimum (sekitar 1-2 bulan setelah tanam). Sementara pupuk P dan K bisa diberikan sekali saja yaitu pada saat tanam.
b). Penempatan Pupuk
Penempatan pupuk harus diusahakan berada dalam daerah aktivitas akar, agar pupuk dapat diserap oleh akar tanaman secara efektif. Kesesuaian letak pupuk dengan posisi akar tanaman disebut dengan istilah sinlokalisasi.
c). Dosis pupuk
Jumlah pupuk yang diberikan harus sesuai dengan kebutuhan tanaman, supaya pupuk yang diberikan tidak banyak yang hilang percuma sehingga dapat menekan biaya produksi serta menghindari terjadinya polusi dan keracunan bagi tanaman.
Walaupun pemupukan merupakan cara yang mudah dan cepat untuk mengatasi permasalahan kahat (defisiensi) hara, namun terdapat beberapa kelemahan dari cara ini yang harus dipertimbangkan dalam merencanakan program pemupukan.
Beberapa kelemahan dari pengelolaan tanah secara kimia adalah:
- Pemupukan membutuhkan biaya tinggi karena harga pupuk mahal
- Penggunaan pupuk tidak dapat menyelesaikan masalah kerusakan fisik dan biologi tanah, bahkan cenderung mengasamkan tanah.
- Pemupukan yang tidak tepat dan berlebihan menyebabkan pencemaran lingkungan
Tumbuhan pengganggu atau gulma yang tumbuh dalam lahan yang ditanami menyebabkan kerugian karena mengambil unsur hara dan air yang
seharusnya dapat digunakan oleh tanaman. Oleh karena itu keberadaan dan pertumbuhan gulma harus ditekan.
Cara kimia juga dipergunakan untuk menekan pertumbuhan gulma yang banyak ditemukan pada tanah masam seperti alang-alang, yakni dengan memakai herbisida. Pemakaian herbisida harus dilakukan secara tepat baik dalam hal jumlah (dosis), waktu dan penempatannya, demikian pula harus disesuaikan antara macam herbisida dengan gulma yang akan diberantas. Penggunaan herbisida yang berlebihan dapat menyebabkan bahaya keracunan pada si pemakai dan pada produk pertanian yang dihasilkan serta pencemaran lingkungan.
Sumber :
worldagroforestry.org, pupukdsp.com, doctortani.com, repository.usu.ac.id
editor web: Kominfo-(eip)
No comments:
Post a Comment