Thursday, November 10, 2016

Cerita Novel Warga Illegal di Negara Maju Bag Satu

Akhir Autumn, 1998
"Aku salah memilih kapal!"
Bukannya aku suka menggerutu, tetapi memang begitulah nasib
yang aku terima saat ini, bekerja dengan jadwal yang sambung-
menyambung dan tekanan yang semakin berat mendera
Selama ini aku merasa bahwa tidur, yang menurut kebutuhan
paling mendasar, selalu saja terampas oleh timbunan berbagai
tugas tambahan yang seolah tiada akhir. Keluhan ke pihak
manajemen sudah tidak ada artinya lagi. Aku sadar, tidak ada
seorang pun yang mengharuskan akuuntuk bekerja di atas kapal
pesiar ini. Suatu tempat yang sebetulnya telah memberikan aku
puluhan ribu dolar setiap tahunnya. Tapi sekarang aku merasa
jenuh dengan pekerjaan yang hanya memberikan kesempatan
untuk menemui bantal empat sampai lima jam setiap harinya.
Ini sungguh keterlalulan

PAGE2
Perusahaan kapal pesiar tempatku bekerja, mengirim berlapis-
lapis supervisor, baik yang ada di head office, maupun yang ada
di kapal pesiar sendiri. Keberadaan supervisor dalam dunia
manajemen modern merupakan hal yanglumrah dan pasti: untuk
menegaskan berlakunya Standard operating Procedure (SOP!)
Tetapi bagiku, semua itu tak lebih dari sebuah bentuk penegasan
eksploitasi yang terasa semakin menyiksa Istilah dalam bahasa Perancisnya, seperti yang sering diucapkan Bung Karno dalam
setiap pidatonya, "Exploitation de l'homme par l'homme!
Hampir setiap pagi selalu ada jadwal early breakfast, sarapan
pagi yang dilakukan lebih awal. Itu artinya aku harus sudah siap
di dining room jam 05.30.

Open sitting breakfast, dengan sajian a la bintang lima harus
aku lakukan. Satu per satu penumpang kapal pesiar mewah
berdatangan ke meja yang menjadi section tempatku bekerja,
dua meja dengan kapasitas masing-masing setiap mejanya terisi
enam orang, by the window. Ya, mendekat ke arah samudra lepas,
yang akan menempatkan penumpang menikmati sarapan pagi
Di meja itu sambil leluasa menyaksikan lumba-lumba liar meloncat-
loncat di laut. Sebuah pemandangan yang dahsyat untuk para
penumpang. Tapi tidak untukku. Semakin banyak lumba-lumba
yang meloncat-loncat ria, semakin lama para penumpang duduk
di situ. Itu artinya semakin lama aku harus menunda waktu
Sarapanku.

Sangat sering waktuku untuk sarapan terlewat berlalu begitu
saja, karena usai melayani tamu pagi hari, tidak lama kemudian
waktu makan siang untuk penumpang kapal sudah tiba!

Dibandingkan dengan perusahaan kapal pesiar tempatku dulu
bekerja, milik Holland America Lines, keadaannya sungguh
berbeda. Tempat kerja yang dulu agak sedikit longgar dalam hal
jam kerja. Hanya saja dalam hal kualitas makan memang sulit
sekali mendapatkan makanan yang layak bagi para awak kapal
pesiar. Di perusahaan yang sekarang, memang sangat longgar
dalam mendapatkan sajian makanan yang berkualitas. Dapat
dikatakan mewah untuk ukuran waiter. Kualitas makanan yang
disajikan untuk awak kapal sama dengan yang dikonsumsi oleh
tamu kapal pesiar. Tetapi permasalahannya, hampir selalu tidak
ada waktu yang longgar untuk menikmatinya. Waktu yang ideal
untuk sarapan memang sebaiknya sebelum bekerja melayani
penumpang menikmati breakfast. Itu artinya sarapan pagi
harus dilakukan kira-kira pukul 05.00 pagi. Namun, aku pikir
pagi-pagi buta adalah waktu yang masih sangat berharga untuk
menuntaskan tidur, karena kepala baru saja ditaruh di bantal
lewat jam 12 malam

Sering aku bangun lima menit sebelum bekerja di pagi buta.
Terutama sekali kalau ada jadwal early breakfast seperti pagi itu.
Dan sudah barang tentu, aku tidak pernah punya waktu untuk
mandi. Bangun tidur langsung menyambar baju seragam dan
memakai dasi kupu-kupu. Sering aku berjumpa dengan sesama
waiter yang kurang tidur itu di lift yang sama. Di dalam lift
itulah kami akan saling merapikan seragam kerja. Terlalu sering
bahkan, kami merapikan seragam kerja dengan mata setengah
terpejam. Kami baru akan benar-benar melek saat kami berdiri
di hadapan Maitre D Hotel atau head waiter yang bertugas yang
mengabsen kami satu per satu.

No comments:

Post a Comment