DI ZAMAN sekarang ini, setiap orang diberikan kebebasan untuk berpendapat. Baik itu lewat lisan ataupun tulisan. Namun, kondisi yang demikian, sesungguhnya telah membuka pintu menuju sebuah problem yang besar. Karena, akan muncul dimana setiap orang bisa seenaknya berpendapat tanpa ilmu, atau berpendapat dengan ilmu, tapi ilmunya salah. Itulah konsekuensi dari sebuah sistem demokrasi.
Ciri utamanya ialah equality (persamaan). Jika dilacak, ia bersumber dari doktrin Barat Post-Modernism. Jika ditilik lebih dalam lagi, ia ditopang oleh doktrin Relativism. Ringkasnya, doktrin ini ingin menyatakan bahwa satu hal tidak lebih benar dari yang lain. Semua harus dianggap sama-sama benar (kebenaran relatif). Sebenarnya secara tak sadar akan juga dapat dianggap sama-sama salah. Jika semua hal sama benarnya, lalu, untuk apa tercipta kata ‘benar’ dan ‘salah’ di dunia ini? Kata Haq dan Bathil? Kesesatan dan Petunjuk? It’s so Confused!
Media-media mainstream pun seakan latah mendukung kondisi tersebut. Karena telah menjadi candu masyarakat, media hanya melayani selera masyarakatnya. Ditampilkanlah sosok-sosok yang seakan berkapasitas tapi tak punya otoritas. Dengan retorika mengagumkan tapi menyesatkan. Wajah meyakinkan tapi hatinya tersenyum sinis. Umpat-mengumpat antar sosok-sosok tersebut sudah menjadi tradisi. Oleh mereka orang besar dikecil-kecilkan sementara orang kecil dibesar-besarkan. Bagi orang-orang ini, suara ulama dianggap setara nilainya dengan suara pelacur. Akhirnya, tak sedikit masyarakat awam menjadi bingung, karena tidak bisa membedakan mana benar dan mana salah.
Baca: Hal-Hal Lucu
Masalahnya yang lebih berbahaya ialah kemudian banyak yang membawa ‘wabah’ ini ke ranah agama. Semuanya merasa sudah setara dengan Imam Syafi’i. Dengan argumen dangkal berkata “Imam Syafi’i makan, aku pun makan!”. Hingga berseliweranlah dari mereka fatwa-fatwa sesat dan menyesatkan. Sungguh, kita tak kan pernah lupa kisah wafatnya seorang sahabat yang mati dikarenakan fatwa sesat seseorang yang memerintahkannya mandi wajib disaat sakit dan kedinginan.
Selain contoh kisah klasik tersebut, juga telah muncul contoh yang lebih ekstrim sekarang ini, sampai nekat mendekontruksi syariat Islam. Seorang profesor pemkiran Islam menyatakan bahwa “Lesbianisme itu halal”. Sekumpulan dosen fakultas syariah menyatakan bahwa homoseksualisme itu tidak dilarang syariat Islam. Tafsir “baru” menghasilkan syariat (hukum) “baru”. Hukum “baru” nikah beda agama, hukum waris, wanita menjadi imam laki-laki, hak wanita menceraikan suami dan sebagainya muncul mengejutkan (Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Misykat, 2012).
Inilah Benturan Peradaban (Clash of Civilization), sebagaimana gagasan yang disampaikan oleh Samuel P. Huntington. Mau tidak mau, suka tidak suka, kita dihadapkan pada realitas kondisi tersebut. Lalu, pertanyaannya adalah; apa sikap terbaik yang dapat dilakukan dalam merespon kondisi tersebut?
Jika ingin objektif, setidaknya ada 3 sikap yang dapat dilakukan oleh umat Islam. Pertama,Menerima segala trend yang terjadi tersebut dengan ikut-ikutan latah berpendapat sesuka syahwatnya. Kedua, Menolak mentah-mentah terhadap fenomena ini dengan menutup diri dari realitas dunia nyata, dengan hanya berfokus menjalankan kegiatan ritual ‘ubudiyyahsemata tanpa peduli terhadap ‘izzah umat Islam. Ketiga, Menerima kondisi tersebut sebagai sebuah kenyataan, dengan ikut membela ‘izzah umat Islam dengan meng-counter pendapat-pendapat tersebut sesuai kapasitas dan kemampuan yang dapat dilakukan.
Pilihan yang paling logis dan rasional tentulah pilihan yang ketiga dengan segala tantangan yang akan dihadapi. Lalu, apa bentuk efektif sikap yang logis dan rasional tersebut? Jawabnya ialah dengan menulis (bagi yang berkapasitas) dan menshare tulisan-tulisan terkait untuk membela ‘izzah umat Islam.
Sikap yang demikian bukan tanpa dasar. Menurut data statistik, terdapat 259.1 Juta penduduk Indonesia, dan sebanyak 87.4 % ialah pengguna aktif sosial-media (Sumber: APJII & Puskakom UI, 2015). Dengan rincian; pengguna BBM 19%, Facebook 15%, Whatsapp 14%, Facebook Messenger 13%, Google+ 12%, Line 12%, Twitter 11%, Instagram 10%, Wechat 8%, Pinterest7% (Sumber: GlobalWabindex, 2016).
Melalui semua inilah terjadinya perang opini. Kini, media-media telah menjadi ‘medan perang’.
Dalam sejarahnya, menulis merupakan tradisi ilmu yang bahkan telah dibangun sendiri oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Suatu ketika, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallampernah bersabda: “laa taktub ‘anni ghoyrol Qur’an” (HR. Muslim). “Jangan tulis apa yang datang dariku selain Al-Qur’an”. Sabda Rasulluah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam ini tidak terlepas dari kondisi para sahabat ketika itu yang sangat rajin mencatat apa yang diucapkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam. Sehingga Rasulullah khawatir kalau-kalau Sabda beliau dan Al-Qur’an akan tercampur.
Padahal sebelumnya, bangsa Arab adalah bangsa yang ummi (buta huruf). Lebih banyak mengandalkan hapalan ketimbang tulisan. Ibnu Saad pun sampai mengungkapkan: “Bangsa Arab Jahiliyah dan permulaan Islam menilai bahwa orang yang sempurna adalah yang dapat menulis, berenang dan melempar panah.”.
Baca : Anehnya ......
Meski begitu, menulis saja tidaklah cukup. Menulis hanyalah seperti pintu gerbang yang indah menuju berbagai perubahan-perubahan nyata. Kejayaan dan keruntuhan Islam dibangun oleh tradisi tulis-menulisnya. Yang dari tulisan-tulisan itu, dirumuskan konsep dan strategi pembangunan dalam memakmurkan sebuah peradaban.
Sayyid Quthb mengungkapkan:
“Di beberapa saat, yaitu saat-saat perjuangan yang pahit dilakukan umat di masa lalu, saya terkadang didatangi gagasan putus asa, yang terbentang di depan mata dengan jelas sekali. Dalam saat seperti itu, saya bertanya kepada diri sendiri, ‘Apa gunanya menulis? Apakah gunanya makalah-makalah yang memenuhi halaman-halaman harian? Apakah tidak lebih baik daripada semuanya ini kalau kita mempunyai sebuah pistol dan beberapa peluru, setelah itu kita berjalan ke luar dan menyelesaikan persoalan kita berhadapan dengan kepala-kepala yang berbuat sewenang-wenang dan melampaui batas? Apa gunanya kita duduk di meja tulis, lalu mengeluarkan semua kemarahan kita dengan kata-kata dan membuang-buang seluruh tenaga kita untuk sesuatu yang tidak akan sampai kepada kepala-kepala yang harus dihancurkan itu?’
“Saya merasa bahwa tulisan-tulisan ‘para pejuang’ tidak semuanya hilang begitu saja. Karena ia dapat membangunkan orang-orang yang tidur, membangkitkan semangat orang-orang yang tidak bergerak, dan menciptakan suatu arus publik yang mengarah kepada suatu tujuan tertentu, kendatipun belum mengkristal. Tapi ada sesuatu yang dapat diselesaikan di bawah pengaruh pena itu.”
“Tetapi kata-kata itu sendiri, walaupun bagaimana ikhlas dan penuh daya ciptanya, ia tidak dapat melakukan apa-apa, sebelum ia menempatkan diri dalam suatu gerakan, sebelum ia terlambang dalam diri seorang manusia. Manusia-manusialah yang merupakan kata-kata yang hidup yang dapat melaksanakan pemahaman dalam bentuk yang paling lancar.”
Demikianlah pernyataan Sayyid Quthb dalam karyanya Dirasah Islamiyah. Tergambar dari pernyataannya di atas, bahwa terdapat kegundahan yang begitu mendalam pada dirinya, karena dirasa bahwa karya-karya tulis yang dihasilkan oleh para pejuang tidak memberikan dampak yang begitu berarti dalam sebuah perjuangan.
Ia sempat terpikir, alangkah lebih baiknya jika para pejuang itu memiliki senjata lalu dengan senjata itu mereka menghabisi nyawa orang-orang yang berlaku dzhalim. Namun pada akhirnya, ia menyadari suatu hal, bahwa dengan tulisan yang diiringi dengan gerakan nyata manusianya untuk mempraktikkan buah pikiran dari tulisan tersebut, adalah sebuah cara yang lebih bijak dan akan mampu menghasilkan sebuah perubahan nyata ke arah yang lebih baik.
Maka, di zaman sekarang, tulisan-tulisan laksana pedang di Perang Badar, panah di Perang Salib, dan bambu runcing di Perang Diponegoro. Semua orang berperang dan memerangi lawannya lewat tulisan. Karena, cara ini memang menjadi bagian dari agenda besar gelombang westernisasi yang diusung oleh Barat. Paul Wolfowitz menyatakan “This is a battle of ideas and a battle for minds”. Menlu AS, Condoleeza Rice, menguatkan “To win the war of terror, we must win a war of ideas” (Lihat www.usnews.com, 25/4/2005).
Tentu kita tidak lupa, bahwa asas pembebasan Baitul Maqdis ialah ilmu. Dan ini adalah pelajaran besar dari Imam Al-Ghazali. Melalui tulisannya (Ihyā’ ‘Ulūmid Dīn), Al-Ghazali mampu memantik spirit mujahid Muslim, yang pada akhirnya bisa merebut kota Baitul Maqdis atas izin Allah Subhanahu Wata’ala.*
Alumni Program Kaderisasi Ulama (PKU) UNIDA Gontor, tinggal di Samarinda-Balikpapan
Rep: Admin Hidcom
Editor: Cholis Akbar
Berita ini juga dapat dibaca melalui m.hidayatullah.com dan Segera Update aplikasi hidcom untuk Android . Install/Update Aplikasi Hidcom Android Anda Sekarang !
Topik:
No comments:
Post a Comment