Muhammad Arifin Jahari
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu
dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak
mengeraskan suara di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A`râf [7]: 205).
Dari
ayat di atas, Allah memerintahkan kepada Nabi Muhammad tiga hal: pertama,
menyebut dan mengingat Allah dalam hatinya dengan rendah diri dan rasa takut
serta tidak mengeraskan suara. Dalam sebuah hadis dijelaskan:
عَنْ أَبِي مُوسَى قَالَ كُنَّا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ
فَجَعَلَ النَّاسُ يَجْهَرُونَ بِالتَّكْبِيرِ فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ إِنَّكُمْ لَيْسَ تَدْعُونَ
أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إِنَّكُمْ تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا وَهُوَ مَعَكُمْ.
“Dari
Abû Mûsâ al-Asy`ari, beliau berkata, “Kami bersama Nabi saw dalam sebuah
perjalanan, lalu orang-orang bertakbir dengan semangat dan suara yang keras.
Nabi saw bersabda, “Hai manusia, kasihanilah diri kalian! Kamu tidak menyeru
Tuhan yang tuli dan ghaib, tapi kamu menyeru Tuhan Yang Maha Mendengar dan
Mahadekat, Dia bersama kalian.” (HR. Muslim dan al-Bukhâri).
Baginda
Muhammad saw kembali bersabda:
عَنْ سَعْدِ بْنِ مَالِكٍ
قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ وَخَيْرُ الرِّزْقِ مَا يَكْفِي.
“Dari
Sa`d bin Mâlik, Nabi saw bersabda, “Sebaik-baik dzikir adalah dzikir khafiy,
dan sebaik-baik rezki adalah sesuatu yang memadai.” (HR. Ahmad).
Ayat
dan hadis di atas jelas melarang dzikir dengan suara keras, namun bukan tanpa
suara. Karena Allah berfirman:
“Katakanlah, “Serulah Allah atau Ar-Rahmân.
Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al-Asmâ’ul Husnâ;
dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam doamu dan janganlah pula
merendahkannya, dan carilah jalan tengah di antara kedua itu.” (QS. Al-Isra’
[17]: 110). Selain doamu, kata صَلاَتِكَ di ayat ini diartikan juga
sebagai shalatmu. Makna yang mana saja sah, dan termasuk dalam dzikir kepada
Allah.
Dalam hadis dijelaskan:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ اللَّهُ يَا ابْنَ آدَمَ إِنْ ذَكَرْتَنِي فِي نَفْسِكَ ذَكَرْتُكَ
فِي نَفْسِي وَإِنْ ذَكَرْتَنِي فِي مَلَإٍ ذَكَرْتُكَ فِي مَلَإٍ مِنْ الْمَلَائِكَةِ
أَوْ فِي مَلَإٍ خَيْرٍ مِنْهُمْ.
“Dari
Anas, Rasul saw bersabda, “Allah SWT berfirman, “Wahai anak cucu Adam, jika
kamu mengingat-Ku dalam dirimu, Aku mengingatmu dalam diri-Ku. Jika kamu
mengingat-Ku dalam keramaian, Aku mengingatmu dalam keramaian dari Malaikat,
atau keramaian yang lebih mulia.” (HR. Ahmad).
Imam Fakhruddîn ar-Râzî
meriwayatkan komentar Ibnu Abbas tentang ayat 205 surat al-A`râf, yang dimaksud
di sana adalah dzikir lisan/suara yang didengar oleh dirinya sendiri. Dzikir
tersebut akan berdampak positif atau menguatkan dzikir hati.[1]
Dzikir yang seperti ini akan menimbulkan keikhlasan, kerendahdirian, dan
menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT.[2]
Kedua,
jangan lalai untuk mengingat Allah. Sebagaimana dijelaskan oleh banyak ulama,
kata الغُدُو dan الآصَالbermakna terus
menerus.[3]
Makna ini sama dengan firman Allah:
“(Yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.” (QS. Ali
Imrân [3]: 191). Artinya berdzikir dalam semua keadaan.
Makna
ini diperkuat lagi oleh penggalan terakhir, “dan janganlah kamu termasuk
orang-orang yang lalai.” Imam Fakhruddîn ar-Râzî menegaskan bahwa wajib
bagi Nabi Muhammad untuk mengingat Allah, merasakan kebesaran dan keagungan
Allah dalam hatinya di setiap detik kehidupannya.[4]
Menurut Muhammad Amin al-Urami al-Harari penggunaan kata الغُدُو dan الآصَال memiliki
tujuan tertentu. Kata al-ghuduw bermakna waktu dari mulai terbit fajar
sampai terbit matahari. Pada waktu ini manusia bangun dari tidurnya, diharapkan
ketika memulai harinya, manusia harus mengingat Tuhannya, supaya aktifitasnya
pada hari itu diberkati oleh Allah SWT. Sedangkan kata al-âshâl bermakna
waktu dari mulai Ashr sampai tenggelam matahari. Pada waktu ini manusia bersiap-siap untuk tidur dan istirahat, dan
tidur adalah saudara mati, diharapkan kepada manusia untuk ingat kepada Allah,
karena jangan-jangan pada tidurnya ia meninggal dunia.[5]
Perintah
dalam ayat ini, walaupun ditujukan kepada Baginda Muhammad saw, juga ditujukan
kepada umatnya berdasar level dan kemampuannya. Karena Nabi saw adalah suri
teladan yang harus diikuti.
Ketiga, dari penggalan pertama ayat
ini, “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu”, para mufassir
mensyaratkan dzikir harus dengan kesadaran dan hati diikutsertakan. Muhammad
Amin al-Urami al-Harari menjelaskan bahwa faidah dzikir adalah hadirnya hati
dan merasakan keagungan Allah SWT. Jadi siapa yang berdzikir tidak mengikutkan
hati, maka dzikirnya tidak bermanfaat. Banyak sekali orang berdzikir, tapi
tidak mengenal Allah, tidak merasa bahwa Allah sedang mengawasinya. Melalui
ayat ini, mestilah seorang hamba berdzikir dengan lisannya dan hatinya secara
bersamaan.[6]
Imam Fakhruddîn ar-Râzî menegaskan hal ini, bahkan beliau menambah argumennya,
bahwa ulama fiqih sepakat ketika seseorang mengucapkan akad yang tidak
dipahaminya maka akad tersebut tidak sah, begitu juga dzikir tegas beliau.[7]Namun demikian, bukan berarti ketika dzikir tidak di hati, lalu kita meninggalkan dzikir itu sendiri, kita haruslah berfikir seperti pepatah, tidak ada rotan akar pun jadi, terlambat lebih baik dari tidak sama sekali. Imam Ibnu `Athaillâh as-Sakandari berkata dalam kitabnya al-Hikam:
لاَ تَتْرُكِ الذِّكْرَ ِلعَدَمِ
حُضُوْرِ قَلْبِكَ مَعَ اللهِ فِيْه، لِأَنَّ غَفْلَتَكَ عَنْ وُجُوْدِ ذِكْرِهِ أَشَدُّ
مِنْ غَفْلَتِكَ فِيْ وُجُوْدِ ذِكْرِهِ، فَعَسَى أَنْ يَرْفَعَكَ مِنْ ذِكْرٍ مَعَ
وُجُوْدِ غَفْلَةٍ إِلىَ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ يَقْظَةٍ، وَمِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ
يَقْظَةٍ إِلىَ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ حُضُوْرٍ، وَمِنْ ذِكْرٍ مَعَ وُجُوْدِ حُضُوْرٍ
إِلىَ ذِكْرٍ مَعَ غَيْبَةٍ عَمََّا سِوَى اْلمَذْكُوْرِ، وَمَا ذَلِكَ عَلَى اللهِ
بِعَزِيْزٍ.
“Jangan
tinggalkan dzikir lantaran hatimu tidak bisa berkonsentrasi kepada Allah saat
berdzikir. Sebab, kelalaianmu terhadap Allah ketika tidak berdzikir lebih buruk
daripada kelalaianmu saat berdzikir. Semoga Allah berkenan mengangkat derajatmu
dari dzikir yang penuh dengan kelalaian menuju dzikir yang penuh dengan
kesadaran; dan dzikir yang penuh dengan kesadaran menuju dzikir yang
disemangati oleh kehadiran-Nya. Juga dari dzikir yang disemangati oleh
kehadiran-Nya menuju dzikir yang meniadakan segala sesuatu selain-Nya. Dan yang
demikian itu bagi Allah bukanlah merupakan sesuatu yang sulit.”
Agak sedikit berbeda dengan
tafsir di atas, Imam Ibn al-`Arabi memahami ayat ini secara khusus, yakni
berkenaan dengan shalat. Agaknya beliau menyamakan kasus ayat ini dengan ayat
204 di atas, yang sama-sama berkenaan dengan shalat. Menurutnya, ayat “dan
sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu,” berkenaan dengan shalat jahriyah,
artinya dalam shalat jahriyah menyebut dan mengingat Allah dalam hati.
Sedangkan ayat, “dan dengan tidak mengeraskan suara,” berkenaan dengan
shalat sirriyah, yang ketika berdzikir dan membaca bacaan shalat hanya
didengar oleh dirinya dan orang disebelahnya.[8]
Imam as-Samarqandi
mempertegas penafsiran ini dengan mengutip pernyataan adh-Dhahhâk bahwa
yang dimaksud dalam ayat ini adalah keraskan bacaan pada shalat Ghuduw,
Maghrib, dan `Isya’, dan janganlah kamu lalai untuk membaca dengan pelan pada
shalat Zhuhur dan `Ashr.[9]
Penafsiran seperti ini penuh dengan pertanyaan, karena – sepanjang pembacaan
penulis – tidak ada satu riwayat pun dari Nabi atau sahabat yang menjelaskan
ayat ini berkenaan dengan shalat, apalagi adanya pembedaan antara jahriyah
atau sirriyah dalam satu ayat.
No comments:
Post a Comment